Wakaf Membangun Peradaban
Wakaf adalah instrumen untuk mengembangkan ekonomi Islam. Dengan wakaf, keberlangsungan sistem ekonomi itu akan terus berjalan. Kehebatan Islam itu jika diamalkan, begitupun dengan wakaf akan hebat jika diamalkan. Wakaf mestinya dapat mengurangi kesenjangan antara si kaya dan si miskin.
Wakaf itu adalah amalan yang luar biasa, di mana manfaatnya berkelanjutan. Apabila kita berwakaf, kita menciptakan sarana ekonomi, sumber-sumber ekonomi untuk bisa meningkatkan ekonomi umat di masa yang akan datang. Wakaf itu sedekah yang terus mengalir manfaatnya. Dijelaskan dalam sebuah hadis, jika meninggal dunia terputuslah semua amalnya, kecuali tiga, salah satunya sedekah jariyah (wakaf).
Wakaf juga membangun peradaban, dengan catatan wakaf dikelola secara produktif. Contohnya di Singapura, dari wakaf itu dibangun apartemen. Kemudian di Turki, ketika ada yang wakaf, 50% dibuatkan sekolah, 50% dibuatkan usaha, di mana hasilnya digunakan untuk menopang kegiatan sekolah.
Wakaf Produktif dan Mawukuf Alaih
Wakaf produktif pertama dicontohkan ketika Umar bin Khattab mewakafkan tanah yang didapatkan di Khaibar. “Lalu Umar mewakafkan tanahnya dengan syarat pohonnya tidak boleh dijual, tidak boleh dihadiahkan, dan tidak boleh diwarisi. Hasil dari pohon tersebut disedekahkan kepada kaum fakir, kerabat-kerabat, budak-budak, orang-orang yang membela agama Allah, tamu, dan musafir yang kehabisan bekal. Namun tidak masalah bagi pengurus wakaf untuk memakan hasilnya dengan baik dan memberi makan teman-temannya yang tidak memiliki harta,” (Muttafaq Alaih).
Harta wakafnya dikelola, tidak boleh dijual, tidak boleh dihadiahkan, dan tidak boleh diwarisi. Hasilnya, disedekahkan kepada mawukuf alaih, yakni para penerima manfaat wakaf, yakni Fakir. Fukara ini mewakili kaum lemah, fakir miskin. Jadi mestinya itulah tujuan dari wakaf kita ini. Wakaf kita produktif, maka wakif alaihnya harus kita utamakan dulu yang demikian; fakir miskin.
Lalu kepada siapa? Kerabat. Tapi di sini konteknya orang miskin, Lalu siapa? Rikab, yakni hamba sahaya, budak, wafisabilillah, dan fisabillah. Jadi kita pun bisa mendapatkan manfaat sebagai mawukuf alaih. Misalnya, anak-anak kita sekolah, di sekolah kita gratis. Jadi bagian daripada mendapatkan manfaat sebagai mawukuf alaih. Keluarga kita sakit, kita berobat ke rumah sakit wakaf, gratis. Kita bisa buat seperti itu ke depannya.
Saya belajar di Islambad. Di sana orang miskin anaknya banyak; 10 atau 9. Mengapa? Karena orang-orang ini mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren, ke madrasah untuk belajar secara gratis. Tidak ada yang bayar.
Pelajaran pertama adalah al-Quran. Jadi dikirim anak umur 7 tahun, ketika umur 12 tahun sudah hafal al-Quran. Lalu mereka ngaji kitab. Jadi mereka ini hafal quran dulu, yang menjadi prasyarat. Mereka tidak bisa ngaji kitab tanpa hafal Quran. Jadi semua anaknya itu semua hafizh Quran, semua jadi ahli-ahli kitab.
Bahkan mereka dibayar. Jadi santri di Pakistan itu setiap tahun dapat dua baju, dan setiap bulan dapat uang sekitar 300 ribu untuk beli sabun dan shampo. Makan gratis, belajar gratis, dan buku-buku gratis. Kalau sakit, tidak perlu bayar kerena rumah sakit wakaf. Dengan begitu, hari ini ada 5 juta anak-anak Pakistan yang hafal Quran.
Dari mana itu? Dari wakaf. Tadi saya bicara dari awal, kita bicara peradaban. Kita ingin membuat peradaban seperti di Indonesia? Pakistan itu sudah berhasil lewat pesantren gratis.
Lalu ibnu sabil; orang yang sedang dalam perjalanan. Boleh nazhirnya untuk menggunakan sebagian dari hasil wakaf itu secara makruf, tidak berlebihan. Oleh BWI, boleh mengambil hasil wakaf, maksimum 10 persen. Itu sudah besar. Kalau Mesir hanya 5 persen dari hasilnya, selebihnya ke invest dan ke wawukuf alaih.
Mengembangkan Wakaf
Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk mengembangkan Wakaf? Pertama, mengembangkan paradigma wakaf. Bagaimana memberikan paradigma baru pada umat, bahwa wakaf bukan hanya kuburan. Wakaf itu bisa dikelola secara produktif. Contohnya Hotel Usman dan pertokoan di DT, kita bawa umat untuk melihatnya.
Bahkan, sekarang kuburan juga bisa dikelola secara produktif. Bagaimana caranya? Ada Al- Azhar Memorial Garden. Satu kuburan 30 juta, 2×1 meter. Uang yang 30 juta itu diputar untuk bisnis, lalu hasilnya itu untuk merawat kuburan sampai kiamat. Kuburan jadi terurus, karena kuburan itu jadi kayak taman, wangi, hijau. Tidak ada kesan seram. Terus dijamin makamnya tidak ditumpuk.
Kedua, meningkatkan kesadaran berwakaf. Sekolah dan kampus harus digarap. Jadi harus ada mata pelajaran khusus wakaf, dari SD. Kita kan gak dikenalkan wakaf, baru waktu ngaji sama ustaz tahu wakaf. Ketiga, Meningkatkan potensi nazhir. Di antaranya dengan meningkatkan wawasan dan pengetahuan nazhir.
Keempat, meningkatkan tata kelola atau good governence principle berdasarkan wakaf core principle. Di sini ada 29 butir, di antaranya 17 butir prinsip pengelolaan, 9 di antaranya membahas manajemen risiko. Berikutnya Kelima, Menemukan keanekaragaman tata cara kelola. Ini link sukuk wakaf sudah kita lauching. tapi ini belum terlalu populer. Karena target kita sampai bulan Agustus (2019) harusnya mendapat 50 milyar, tapi yang didapat belasan milyar.
Wakaf link sukuk itu begini, misalnya saya punya uang. Lalu uang saya, daripada disimpan di bank tidak dapat pahala. Agar dapat pahala, saya beli sukuk. Lalu hasil sukuk itu kan setiap tahun. Hasilnya yang kemudian kita wakafkan. Setelah beberapa tahun sesuai aturannya, katakan 10 tahun uang saya kembali seutuhnya. Pahalanya dari mana, dari hasilnya yang saya wakafkan.
Terakhir, keenam, memanfaatkan teknologi digital, karena sekarang ini, kemajuan teknologi tidak bisa kita nafikan. Dimana-mana orang menggunakan teknologi, kalau kita tidak memanfaatkannya, kita bisa dilibas. (Hendri Tanjung/Komisioner BWI)