Wakaf, Hadiah Istimewa untuk Orangtua
“Jika anak cucu Adam wafat, maka terputuslah semua amal perbuatannya, kecuali tiga hal. Sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orangtuanya.” (HR. Muslim)
Sedekah jariyah seperti wakaf, pada hakikatnya memberikan kepemilikan harta untuk kepentingan umat. Sehingga pahala dari wakaf tersebut akan terus mengalir, selama harta wakaf bermanfaat bagi umat.
Wakaf juga merupakan amalan yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw. Seperti wakafnya Usman bin Affan ra di Madinah. Kemudian wakaf dari para Sahabat Rasulullah saw lainnya, dalam jumlah yang sangat fenomenal. Umar bin Khattab ra misalnya, ia mewakafkan setengah hartanya di jalan Allah, bahkan Abu Bakar Shiddiq ra mewakafkan seluruh hartanya karena Allah.
Jadi, wakaf itu suatu program yang diharapkan dapat memberi solusi bagi permasalahan umat. Organisasi-organisasi besar di Indonesia seperti Muhammadiyah, itu hidupnya dari wakaf. Dari kalangan Muhammadiyah dan NU (Nahdatul Ulama) jika dikumpulkan, jumlahnya fantastis sekali. Nah, arti wakaf itu kan wukuf (berhenti). Ini bukan berarti berhenti jadi pasif, tapi sesuatu yang dengan berhenti itu, dia memberikan manfaat yang luar biasa.
Hadiah Istimewa
“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kalian kepada-Ku, dan kepada kedua orangtuamu. Hanya kepada-Ku lah kalian kembali.” (QS. Luqman [31] : 14)
Jadi, wakaf itu merupakan amal yang indah karena dapat menembus ruang dan waktu. Bagi orang-orang yang kita cintai seperti orangtua, wakaf bisa menjadi hadiah istimewa yang diberikan. Kalau orangtuanya masih hidup, berwakaf untuk orangtua apakah boleh? Boleh saja. Misal kita bilang ke mereka, pak, bu, ini saya dapat rezeki. Tapi kelihatannya bapak ibu kalau diberikan dalam bentuk uang, tidak terlalu memerlukan karena sudah sepuh. Bolehkah saya berwakaf atas nama bapak dan ibu? Ini ada pesantren mau dibangun, mau saya wakafkan uangnya untuk pesantren atas nama bapak dan ibu? Bahkan, kalau orangtua sudah meninggal, itu juga boleh.
Dahulu, Sahabat Rasulullah saw yang bernama Sa’ad ingin memberi wakaf untuk orangtuanya, tapi orangtuanya telah wafat. Rasulullah saw pun membolehkan. Jadi, berwakaf untuk orangtua yang masih hidup atau pun yang sudah wafat, hukumnya boleh. Dari sisi fikih tidak ada masalah, dari sisi syariat juga tidak ada masalah. Jadi, prinsipnya boleh. Bahkan berwakaf atas nama anak juga boleh, untuk pendidikan ke anak, dan itu akan jadi model bagi anak bahwa ayahnya seorang yang ahli wakaf.
Tingkatkan Sosialisasi Wakaf
Sosialisasi tentang wakaf ini merupakan tugas dari lembaga wakaf, seperti Lembaga Wakaf Daarut Tauhiid (DT), dan kita semua yang sudah memahaminya. Sosialisasikan kepada masyarakat, kalau berwakaf itu akan membersihkan diri dari kekikiran, dan pahalanya mengalir hingga hari akhir.
Sebenarnya di pedesaan juga sudah banyak yang melakukan praktik wakaf, hanya saja tidak resmi pakai sertifikat. Misalnya kiai yang mewakafkan tanahnya untuk pesantren. Di atas tanah itu dibangun masjid, madrasah, dan tempat umum yang maslahat bagi umat.
Maka, sosialisasi tentang wakaf ini harus terus digencarkan, agar semakin banyak yang paham tentang fungsi dan manfaat jangka panjang dari amal wakaf ini. Misal, tentang wakaf produktif. Ini merupakan sebuah ijtihad ulama, yang ujung-ujungnya diwujudkan pada sesuatu yang produktif untuk kepentingan umat.
Contoh, di Garut ada sebuah pesantren yang kalau santri atau jamaahnya berwakaf ke pesantren itu, oleh pesantren akan dibelikan sawah. Kalau sawah itu bersifat produktif atau menghasilkan, nah hasilnya bisa diolah secara berkelanjutan untuk sesuatu yang bermanfaat. Misal, untuk memfasilitasi sarana pendidikan yang ada di pesantren itu.
Dulu memang sumber produktif itu adalah lahan. Tapi sekarang tidak harus tanah, saham perusahaan juga bisa, atau pertokoan seperti yang sudah dilakukan oleh Lembaga Wakaf DT. Jadi, wakaf tunai dan dikelola secara produktif, itu bagus dilakukan. Tinggal lembaga wakaf ini mengelolanya harus profesional, sehingga manfaat dari aset wakaf tersebut dapat berkelanjutan.
Mari Berwakaf ke Lembaga Wakaf DT
Wakaf bisa fenomenal karena memiliki umur yang panjang. Berwakaf jelas berbeda dengan bersedekah. Mengapa? Karena sedekah bisa sekali habis, misal sedekah makanan, minuman. Tapi kalau wakaf bisa berkelanjutan manfaatnya. Seperti, wakaf untuk sekolah, masjid, dan wakaf produktif lainnya.
Lembaga Wakaf DT memiliki momentum yang sangat bagus dengan berbagai hal yang terjadi saat ini. Di DT, aset wakaf berupa masjid, sekolah, dan gedung-gedung yang bermanfaat bagi umat lainnya, menjadi bukti bahwa dana wakaf yang disalurkan oleh masyarakat, dikelola dengan baik, serta laporan keuangannya juga di share ke public.
Menurut saya Lembaga Wakaf DT sudah ada di jalan yang benar, sehingga masyarakat dapat mengetahui tentang manfaat yang luar biasa dari amal wakaf. Saya sarankan iklan atau campaign yang dilakukan oleh Lembaga Wakaf DT dapat terus ditingkatkan. Sampaikan wakaf ke masyarakat dengan cara-cara yang kreatif. Jangan sampai masyarakat malas duluan, karena merasa digurui. Cukup dengan sharing manfaat dari aset-aset wakaf yang telah ada, dan sisi human interestnya diangkat. Misal, sharing ke masyarakat tentang keluarga muwakif yang bahagia karena istiqamah berwakaf.
Wakaf memang unik karena amal wakafnya dapat terukur, tapi manfaat yang didapat tidak terukur. Misal, wakaf lima ratus ribu rupiah untuk pembangunan masjid. Lalu Allah beri ketenangan batin, keluarga bahagia. Nah, ketenangan batin dan keluarga jadi bahagia ini merupakan sesuatu yang tidak dapat diukur.
Pesan saya, untuk Anda semua yang masih muda, tunjukkan bukti kesalehan dan bakti kepada orangtua dengan berwakaf atas nama orangtua. Itu akan menjadi hadiah terindah, dan pada saat yang sama, Anda juga tidak kehilangan pahala dari wakaf tersebut. Mari bersemangat untuk berwakaf, khususnya wakaf untuk orangtua melalui lembaga yang terpercaya, Lembaga Wakaf Daarut Tauhiid (DT). (Ustaz Budi Prayitno)