Ujian Berharap
Bismillaahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillaahirabbil ‘alamiin, Alladzi khalaqalmawta walhayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala wahuwal ‘azizul ghafur. Allahummaa shalli wasallim wabaarik ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘alaa alihii washahbihii ajma’in.
لا تَمُدَّ نَّ يَدَ كَ اِلىَ اْلاَخْذِ من الخَلاَٰ ءِـقِ اِلاَّ تَرٰى اَنَّ الْمُعْطِىَ فِيْهِمْ مَولاٰ كَ فَإِنْ كُنْتَ كذٰ لكَ فَخُذْ ماَ وَا فقَ الْعِلمَ
Artinya: “Jangan engkau ulurkan tangan untuk menerima pemberian makhluk, kecuali (sehingga) bila sudah bisa merasa bahwa sebenarnya yang memberi itu Tuhanmu. Apabila engkau sudah demikian, maka terimalah pemberian mereka yang sesuai dengan ilmumu (syariat/ halal).” (Al-Hikam no.203).
Ujian bagi kita adalah terlalu sering berharap dari makhluk. Salah satu riyadhah penting bagi orang yang ingin yakin kepada Allah Ta’ala adalah berhenti berharap dari makhluk, khususnya dari manusia. Salah satu wasiat Rasulullah saw kepada Abu Dzar al-Ghifari ra, poin ke tujuh yaitu jangan suka meminta-minta. Meminta-minta kepada manusia itu akan meruntuhkan izzah yakni martabat, kemuliaan, kehormatan, dan harga diri kita.
Semakin yakin seorang hamba kepada Allah Ta’ala, maka semakin akan dicukupi kebutuhannya.
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ
إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا ﴿٣
Artinya: “Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. at-Thalaq [65]: 3).
Biasanya orang yang kurang meyakini Allah sandarannya adalah manusia. Semakin sering berharap kepada manusia pasti akan semakin merasa gelisah. Semakin bersandar kepada selain Allah, semakin tidak akan bahagia hidup seorang hamba.
Sebelum manusia bisa berdoa, bahkan sebelum bisa melakukan apa pun, manusia sudah menikmati rezeki di dalam perut ibunya. Menafakuri perjalanan rezeki, seharusnya membuat kita semakin yakin bahwa rezeki telah mengiringi kita semenjak lahir.
Jadi, ketika saat ini kita diberi akal yang jauh lebih dahsyat dibanding ketika masih bayi, rezeki pun lebih dahsyat mendekat kepada kita. Contohnya, berapa langkah kita menuju piring, dan berapa ribu langkah makanan menuju piring kita, bandingkan mana yang lebih hebat.
Beras, garam, ikan, air minum, datang begitu saja. Kita tidak melaut, kita tidak membuat garam, tidak menanam padi, tapi sampai kepada kita. Artinya kita harus haqqul yaqin bahwa rezeki kita ada dan akan terus mencukupi hingga ajal menjemput.
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ ﴿٦
Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS. Hud [11]: 6).
Ikhtiar dan pekerjaan kita adalah amal saleh agar pertemuan kita dengan rezeki menjadi berkah. Tepatnya bukan kita sedang mencari rezeki, tapi sedang menjemput rezeki. Karena yang kita cari adalah berkahnya, maka kita tidak perlu meminta-minta atau pun menghiba kepada orang lain. Para koruptor sebetulnya sudah kaya. Tapi karena tidak berkah, akibatnya dia terus saja mencuri dan meminta. Karena kalau tidak berkah laksana seperti meminum air laut, selalu merasa kehausan. Merasa butuh untuk memuaskan nafsu, sehingga mencuri lagi, meminta lagi.
Rezeki yang tidak berkah itu, tidak bisa digunakan untuk mendekat kepada Allah Ta’ala. Tapi jika untuk keperluan maksiat akan terasa lancar. Untuk hal yang sia-sia pun begitu. Tidak perlu kaya akan harta hingga menumpuk harta, pastikan asal cukup saja. Saat perlu untuk membangun pesantren, cukup. Untuk kebutuhan sekolah anak pun cukup. Yang perlu dikayakan itu ialah hati, ide, dan gagasan. Kaya ilmu, kaya amal, itu yang harus menjadi obsesi seorang muslim.
(Kajian al-Hikam, Kamis 8 Oktober 2020)