Tragedi Buah Khuldi
“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.” (QS. Thaha [20]: 115)
Nabi Adam as dan Siti Hawa ra tinggal di surga dalam kurun waktu tertentu. Allah SWT mempersilakan Nabi Adam dan istrinya itu untuk mendayagunakan seluruh fasilitas yang Ia sediakan di surga, kecuali satu larangan saja, “Janganlah engkau dekati pohon ini.” (QS. al-Baqarah [2]: 35)
Tentu jika kita dihadapkan dengan banyak hal menawan yang ada di surga, dan hanya dilarang melakukan satu hal saja (yaitu mendekati sebuah pohon), bukanlah perkara yang berat. Kehidupan Nabi Adam beserta Siti Hawa pun pada awalnya berjalan lancar, hingga suatu saat datang Iblis yang merencanakan niat jahat (menggoda) keduanya. Iblis laknatullah menggoda Nabi Adam as secara langsung, namun gagal. Selanjutnya ia berstrategi dengan cara mendekati istri Nabi Adam (Siti Hawa) terlebih dahulu.
Iblis laknatullah mendekati Siti Hawa tidak dalam bentuk wujud aslinya. Ia menyerupai salah satu makhluk Allah yang biasa tinggal di pepohonan, yaitu seekor ular. Tatkala berada di dekat Siti Hawa ra, Iblis laknatullah membangun komunikasi harmonis dengan cara mengemas bahasa secara persuasif (dengan tujuan “membeli” hati Siti Hawa). Iblis laknatullah tidak ragu menyampaikan perkataan bohong (mengada-ngada) bahwa Siti Hawa ra dan Nabi Adam as kekal dan mendapatkan kerajaan yang tidak akan binasa. Oleh karenanya, Iblis menamai pohon larangan ini dengan nama “khuldi” yang berarti kekal atau mengekalkan. Kalimat tipuan ini terus dibisikkan ke dalam shudur (dada) Siti Hawa.
Akal Siti Hawa yang terdiri dari sama’ (pendengaran), bashar (penglihatan), dan fu’ad (pikiran) terus dijejali informasi tadi. Berbagai untaian kalimat sengaja dibuat untuk membuai logika Siti Hawa agar mau mengikuti kemauan Iblis, berharap bisa “mengetuk” logika Siti Hawa ra agar perlahan tapi pasti hadir di dalam benak dan pikirannya, sehingga lambat laun akan kuat bersemayam di dalamnya.
Trrnyata, apa yang diharapkan Iblis laknatullah berhasil. Informasi yang selalu dibisikannya lambat-laun menjadi sugesti yang kian lama kian memunculkan rasa penasaran dan keinginan untuk membuktikannya. Semakin Iblis meningkatkan frekuensi bujukannya, semakin kuat Siti Hawa dibuat lalai sehingga lupa dengan perintah Allah SWT agar tidak mendekati pohon ini. Akhirnya Siti Hawa membujuk Nabi Adam untuk (tidak hanya) mendekati pohon larangan ini bahkan memakan buahnya.
Nabi Adam as awal mulanya tidak berkenan. Namun, lambat laun permintaan itu akhirnya ia kabulkan juga. Maka, keduanya memakan buah terlarang itu. Seketika, aurat keduanya terbuka dan jatuhlah Nabi Adam beserta Siti Hawa ke dalam “lembah” kehinaan karena melakukan kedurhakaan atas sebuah larangan.
Peristiwa ini menjadi tragedi yang sangat fenomenal. Bagaimana tidak, seseorang dengan kualitas Nabi yang telah berdialog langsung dengan Allah SWT, dihormati oleh malaikat, dan diberikan fasilitas surga namun masih juga bisa terbujuk oleh rayuan dan godaan Iblis. Tentunya ada hal pokok yang menjadi penyebab utamanya.
Tragedi ini menjadi kasus pendurhakaan manusia yang pertama. Tentunya semua tidak lepas dari kuasa dan kehendak Allah SWT. Tentu, Allah sengaja menghadirkan kejadian ini karena berkehendak menunjukkan sebuah peringatan. Ya, sebuah peringatan besar dan berharga bahwa tidak ada jaminan bagi siapa pun bisa aman dari bujuk-rayu dan gangguan Iblis. Dengan demikian, jangan pernah merasa aman atasnya. Sahabat Ali bin Abi Thalib ra dalam atsar-nya menegaskan bahwa “rasa aman adalah racun”, sehingga umat Islam (siapa pun dia) harus waspada setiap saat.
Kewaspadaan yang kita lakukan tentunya tidak brutal. Ada “komposisi” dan “dosis” yang harus kita tetapkan. Mengacu dari kisah Nabi Adam dan Siti Hawa, Allah SWT menyampaikan petunjuk penting, bahwa penyebab terjadinya pelanggaraan dan kedurhakaan didominasi oleh faktor internal (di dalam diri seseorang) yaitu karena kurangnya kemauan kuat. Hanya dengan keinginan kuat inilah seseorang mampu bertahan dan memperjuangkan semua yang diyakininya, sebesar apa pun hambatan di luar.
Dengan keinginan kuat, seseorang akan berani (tidak hanya) membenci bahkan menghancurkan segenap ancaman dan gangguan yang menghadang. Jangan pernah membiarkan kemauan melemah. Karena di saat kemauan seseorang berkurang maka di saat itulah rasa malas akan menggerogoti semangat di dalam diri, sehingga membuatnya lupa dan menjadi lalai dengan tugas serta tujuan utama keberadaannya. Melalui tragedi ini Allah SWT hendak menyadarkan kita betapa pentingnya menjadi pribadi tangguh, yaitu pribadi yang memiliki keinginan kuat di dalam dirinya. Wallahu a’lam. (Ust. Edu)