Tiga Tempat dalam Ikhlas
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah yang Mahasuci dan Mahaagung, yang tidak ada satu makhluk pun dapat menyamai kesucian dan keagungannya. Salawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah saw, suri tauladan bagi kita hingga akhir masa.
Mengutip dari kitab al-Hikam nomor 133, “Jangan menuntut upah terhadap amal perbuatan yang engkau sendiri tidak ikut berbuat. Cukup besar upah/balasan bagimu dari Allah jika Ia menerima amal itu. Allah berfirman, ‘Dan Allah yang menjadikan engkau dan apa yang engkau perbuat.’ Ibrahim al-Aqni berkata, ’Dari Allah yang menjadikan hamba dan segala perbuatannya, dia pula yang memberikan taufik untuk siapa yang sampai mendekat kepadanya.”
Rezeki manusia itu sesungguhnya bukan pada pahalanya, melainkan rezeki manusia itu ketika bisa beramal dan Allah rida. Benar, Allah menjanjikan pahala, tapi sejatinya bukan urusan kita pahala itu, urusan Allah yang memberi. Urusan kita adalah sebelum beramal niatnya lurus, ketika beramal dijaga dengan benar, dan sesudah beramal lupakan. Kita tidak boleh menganggap amal itu milik kita, amal itu karunia Allah.
Kegagalan suatu amal ada tiga, yaitu: 1) niatnya tidak benar, 2) caranya tidak benar, 3) sesudah jadi amal diakui itu miliknya. Ini karena sebetulnya bukan kita yang sedekah, yang ada adalah Allah menitipkan uang kepada kita untuk hambanya melalui perantara, yaitu kita.
Karena Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk beramal, kemudian Allah memberi taufik di hati kita supaya kita ingin beramal, dan itu sudah cukup untuk kita. Perihal nanti sedekah itu apakah menjadi amal atau tidak, itu semua sudah janji dan hak Allah. Yang mana kita sebagai hamba tidak perlu menunggu, juga tidak perlu untuk mengungkit-ungkit amalan tersebut.
Perihal perhitungan balasan sedekah dari Allah, itu juga adalah hak Allah apakah nanti dibalas dengan 10 sampai 700 kali lipat. Dan itu memang sudah tidak perlu kita nanti-nantikan, karena itu sudah pasti. Janji Allah itu pasti tidak akan pernah meleset. Tidak akan tertukar. Tidak salah detiknya, menitnya, dan pasti sempurna.
Maka dari itu, kita harus fokus pada dua hal di awal dan satu hal di akhir. Yakni jaga dengan lillaahi ta’ala,dan tidak boleh ada niat yang lain atau tersembunyi dalam diri kita. Ketika kita tersenyum, maka bukan karena ingin dagangan kita laku. Kita tersenyum bukan karena supaya kelihatan menarik. Kita tersenyum bukan karena ingin orang lain membalas senyuman kita, tapi kita tersenyum karena Allah suka orang yang tersenyum karena-Nya.
Kita sedekah karena Allah suka ketika kita bersedekah. Perihal orang lain mau berterima kasih, mau menghargai, atau tidak itu semua bukan urusan kita. Urusan utama kita adalah sedekah, menolong orang, berbuat supaya amalan tersebut diterima oleh Allah. Dan itu ketika di awal kemudian ketika sudah menjadi amal, hilang diri kita sama sekali.
Semua kebaikan yang bisa kita lakukan itu datangnya dari Allah. Kita tidak boleh mengakui, saya sudah nyumbang, saya sudah menolong, saya sudah berbuat, semua itu tidak boleh. Karena, “Allah lah yang telah menciptakan engkau dan apa yang engkau lakukan.” Itulah adab untuk kita semua.
Namun ketika kita dalam masalah dan kita merasa punya amal, lalu kita bertawasul itu baru diperbolehkan. Karena bertawasul juga sama seperti kita menyerahkan kepada Allah dengan cara kita menyerahkan amalan baik yang pernah kita lakukan, yang mudah-mudahan diterima oleh Allah.
Kemudian marilah kita belajar untuk menjadi pelupa. Pelupa terhadap sekecil apapun kebaikan kita. Karena memang sesungguhnya kita tidak pernah menolong orang, yang ada ialah Allah menggerakkan kita untuk menolong orang lewat perantara kita. Maka dari itu, sebaiknya kita tidak mengingat-ngingat kebaikan yang kita lakukan kepada orang lain, apalagi untuk menuntut orang membalas kebaikan kita. Dan yang terpenting adalah ingat, gigih di awal, sempurnakan ikhtiar, dan lupakan apa yang sudah terjadi. Wallahu ‘alam. (KH. Abdullah Gymnastiar)