Terikat Cinta Rasulullah
“Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah; yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, syuhada dan orang-orang yang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. an-Nisaa [4]: 69).
Di daerah yang berdekatan dengan Madinah, ada orang tua yang memiliki seekor unta. Setiap tiba bulan Rabiul Awwal, orang tua itu senantiasa meluangkan waktu untuk ziarah ke makam Nabi Muhammad saw menggunakan unta. Hampir tidak pernah absen berziarah ke makam Rasulullah saw dengan menggunakan untanya.
Suatu hari ia sedang membutuhkan uang yang jumlahnya besar. Satu-satunya harta yang dimilikinya adalah unta. Karena sedang memerlukan uang, unta yang dimilikinya dijual kepada seseorang yang tinggalnya di luar Madinah.
Hari demi hari berlalu. Pekan demi pekan berlalu. Bulan demi bulan berlalu. Tibalah pada bulan Rabiul Awwal. Sehari menjelang tanggal biasa pergi ziarah, ia sempat mengeluh dalam dirinya kemungkinan tahun ini tidak bisa ziarah ke makam Rasulullah saw karena unta yang biasa mengantarnya sudah menjadi milik orang lain.
Pagi itu ia keluar dari pintu rumah. Kagetlah ia melihat unta yang sudah berada di depan rumah. Unta menundukkan badannya untuk dinaiki. Orang tua itu tersenyum dan mengelus-elus unta. Kemudian membawa barang-barang perbekalan. Dinaikilah unta tersebut. Tanpa disuruh, unta sudah tahu ke mana bergerak. Sang unta bersama orang tua itu menuju Madinah dan berziarah ke makam Rasulullah saw. Selesai ziarah pulang ke rumahnya dan unta pun kembali ke pemiliknya yang baru.
Setiap kali sampai pada hari biasa pergi ziarah, sang unta sudah menanti di depan pintu rumah orang tua. Seperti biasa, unta dan orang tua itu melakukan ziarah ke makam Rasulullah saw. Kejadian itu berulang lebih dari tiga kali. Sang pemilik unta baru pun tidak merasa kehilangan karena pada hari maulid Nabi biasanya suka menghilang dan kembali setelah hari kedua. Pernah dicari ke rumah orang tua yang dahulu menjadi pemiliknya. Diceritakan bahwa sang unta datang sendiri. Meski sudah disuruh pergi tetap tidak mau sebelum pergi ziarah ke makam Rasulullah saw.
Karena usia yang sepuh dan mulai sakit-sakitan, orang tua itu meninggal dunia. Bersamaan dengan itu tiba bulan maulid Nabi. Tepat pada hari biasa pergi ziarah ke makam Rasulullah saw, sang unta sudah berada di depan pintu. Sang unta tetap menunggu orang tua yang biasa dibawanya ke Madinah. Berhari-hari unta itu duduk. Tidak bergerak. Meski sudah diberitahu bahwa orang tua itu sudah wafat tetap sang unta terdiam. Tidak bergerak. Dari matanya berkaca-kaca seperti menangis dan esoknya sang unta sudah tidak bernyawa dalam keadaan duduk menunggu.
Kisah tersebut saya dengar dari guru saya. Guru saya mendapatkannya dari seseorang di Madinah saat melakukan perjalanan umrah. Saya tidak tahu benar tidaknya. Setiap kali teringat dengan kisah itu, saya terenyuh dan mata pun berkaca-kaca. Saya terharu dengan ‘kecintaan’ unta kepada Rasulullah saw. Meski binatang tapi ‘merasakan’ terikat dengan Rasulullah saw. Sangat tidak mungkin binatang berkenan datang sendiri dan bergerak menuju Madinah. Meski memang sudah biasa, tetapi yang anehnya tidak mau beranjak meski sudah diusir. Saya kira ikatan ‘cinta’ kepada Rasulullah saw ini yang mendasarinya.
Rasulullah saw memang pengikat cinta. Sejarah mengisahkan seorang budak yang menjadi pembantu di rumah Nabi, Zaid bin Haritsah, yang ditebus oleh orangtuanya. Kemudian diminta pulang oleh keluarganya, malah tetap memilih hidup dan mengabdi kepada Rasulullah saw.
Masih tentang Zaid bin Haritsah. Suatu hari ditangkap oleh bangsawan Mekah diikat dengan kencang dan disiksa. Dalam kondisi demikian, sang musuh Islam berkata, “Maukah kamu dilepaskan dan Muhammad bin Abdullah dijadikan sebagai gantinya untuk disiksa?”
Zaid bin Haritsah dengan lantang menjawab, “Aku tidak rela sedikit pun duri menusuk Rasulullah saw. Biarlah aku tetap begini.”
Sang musuh Islam bergumam, “Luar biasa. Belum pernah ditemukan orang yang cintanya kepada sahabat melebihi kepada dirinya sendiri seperti cintamu kepada Muhammad.”
Dalam sebuah riwayat dikisahkan ada seorang penjual parfum setiap pagi menyempatkan untuk melihat wajah Rasulullah saw sebelum pergi tokonya. Suatu hari penjual parfum itu sampai tiga kali kembali ke rumah Nabi hanya untuk menatap wajahnya. Ia ditanya Rasulullah saw mengapa melakukannya demikian? Ia menjawab, “Apabila aku berada di rumah, lalu kemudian teringat kepadamu, maka aku tak akan tahan meredam rasa rinduku sampai aku datang dan memandang wajahmu. Tapi apabila aku teringat pada mati, aku merasa sangat sedih, karena aku tahu bahwa engkau pasti akan masuk ke dalam surga dan berkumpul bersama nabi-nabi yang lain. Sementara aku apabila ditakdirkan masuk ke dalam surga, aku khawatir tak akan bisa lagi melihat wajahmu, karena derajatku jauh lebih rendah dari derajatmu.”
Kesokan harinya Rasulullah saw tidak mendapatinya. Dikabarkan ia telah meninggal dunia. Rasulullah saw bertanya kepada teman-temannya di pasar. Teman-temannya bilang bahwa penjual parfum itu termasuk saleh, hanya punya sedikit kekurangan: suka tertarik perempuan. Rasulullah saw berkata, “Ia akan dipersatukan kelak dengan yang dicintainya.” (daaruttauhiid)