Tawadhu Modal Kebahagiaan
Beruntunglah orang yang di dalam hatinya senantiasa dihiasi dengan ketawadhuan. Hati yang senantiasa merendahkan dirinya di hadapan Allah SWT. Setiap penghargaan dan pujian yang datang dari manusia, selalu ia sadari semua itu tiada lain karunia dari Allah Ta’ala dan menjadi ujian baginya.
Orang yang tawadhu akan memancarkan cahaya keakraban, kehangatan, dan keindahan. Kepribadiannya akan cemerlang dan menjadi magnet bagi datangnya kebaikan dari sekelilingnya. Karena tawadhu adalah sifat yang dicintai oleh Allah SWT dan dirindukan oleh makhluk-Nya. Siapa pun akan senang berada di dekat orang yang tawadhu. Akan merasa aman, nyaman, dan tidak khawatir diganggu.
Tawadhu atau rendah hati adalah perhiasan para kekasih Allah. Karena tawadhu menjadi jalan yang lapang bagi penerimaan kebenaran dan kebaikan. Orang yang tawadhu akan mudah menerima petunjuk karena hatinya senantiasa terbuka pada ilmu dan nasihat.
Rasulullah saw bersabda, “Tidak berkurang harta karena sedekah, dan Allah tidak menambah pada seseorang karena memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiada seseorang yang bertawadhu kepada Allah melainkan dimuliakan (mendapat Izzah) oleh Allah.” (HR. Muslim).
Tawadhu adalah lawan dari takabur atau sombong. Saudaraku, sungguh merugi orang yang membiarkan hatinya diselimuti dengan kesombongan. Bagaimana mungkin kita berhak untuk sombong sedangkan kita adalah makhluk yang lemah. Manusia adalah makhluk tiada berdaya yang awalnya tercipta dari saripati tanah, ke mana-mana membawa kotoran, dan mati dikembalikan ke tanah. Sungguh tak pernah ada alasan yang membuat kita selaku makhluk untuk bisa sombong.
Apa pun yang kita miliki, lembaran kain yang kita kenakan, makanan yang kita nikmati, tiada lain adalah berasal dari kemurahan Allah SWT kepada kita. Jantung kita berdenyut setiap saat sehingga membuat kita tetap hidup sampai saat ini, padahal tidak mampu kita kendalikan tiada lain adalah kekuasaan Allah.
Tak ada manusia yang suka terhadap orang yang menyombongkan dirinya. Jika pun ada yang bilang suka, pasti itu hanyalah sandiwara belaka. Hati nurani kita takkan bisa menerima kesombongan karena Rasulullah bersabda, “Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim).
Tidak ada orang yang mendapatkan kesuksesan jika hatinya terdapat kesombongan. Seorang pemimpin tidak akan sukses memimpin timnya jika mendapatkan keberhasilan lalu ia meninggikan dirinya sendiri di hadapan anak buahnya. Seolah keberhasilan itu adalah berkat dirinya tanpa ada bantuan orang lain. Pemimpin yang demikian tak akan dicintai anak buahnya, tak akan mampu membangun teamwork yang solid. Sebaliknya ia justru sedang membawa dirinya sendiri kepada kehancuran.
Seorang guru yang gemar membesar-besarkan prestasi dirinya karena ingin dikagumi dan dipuji murid-muridnya, maka niscaya tidak akan bisa mendidik dengan baik. Karena mendidik mestilah dengan memberikan keteladanan akhlak mulia. Sedangkan kesombongan sama sekali bukan akhlak mulia. Marilah kita ingat-ingat kembali beberapa kisah orang terdahulu yang celaka akibat kesombongan dirinya sendiri. Ingatkah kita kepada iblis? Hal apakah yang membuat ia dimurkai oleh Allah untuk selamanya, tiada lain karena kesombongan.
Kemudian ingatkah kita kepada Qarun? Sepupu dari Nabi Musa yang awalnya adalah orang sederhana sampai suatu saat ia meminta kekayaan kepada Allah. Saat permintaan itu dikabulkan, harta itu berubah menjadi ujian baginya. Namun Qarun tak mampu menghadapi ujian tersebut. Ia menjadi sombong dan tak mau menerima petunjuk dari Nabi Musa. Qarun mengatakan bahwa harta kekayaan yang ia miliki tiada lain adalah buah dari kecerdasan dan keterampilannya semata. Ia pun berjalan di muka bumi dengan tinggi hati. Kemudian Allah menenggelamkannya ke dalam bumi beserta harta kekayaannya.
Kesuksesan akan mengiringi orang yang tawadhu. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita kekuatan untuk senantiasa menjaga kebersihan hati dari penyakit sombong, sehingga kita termasuk orang-orang yang memperoleh kesuksesan di dunia dan di akhirat. (KH. Abdullah Gymnastiar)