Tafakuri Diri
Manusia mudah sekali terpukau dengan keindahan alam. Saat melihat gunung yang tinggi menjulang, kita merasa kecil. Ketika melihat langit yang luas, kita merasa kerdil. Sehingga menafakuri alam menjadi hal termudah untuk menemukan keagungan Allah Ta’ala, Sang Pencipta Alam Semesta.
Namun, manusia sering sekali lalai menafakuri penciptaan dirinya. Saat bercermin, kita cenderung melihat penampakan luar saja. Kerupawanan wajah atau eloknya bentuk tubuh. Tapi jika dilihat lebih dalam, banyak sekali keajaiban dalam tubuh kita yang seringkali dilupakan. Sebab organ-organ itu tidak terlihat dari luar, padahal kerjanya mahapenting bagi diri kita.
Betapa luar biasanya tubuh kita. Bermilyar sel hidup di sana dan tidak pernah tertukar kebutuhan dan kerjanya. Maka seorang yang beriman di setiap kesempatan melihat dirinya, yang dia hasilkan pastilah zikrullah. Bersyukur dan mengingat Allah SWT atas apa yang ia lihat di depan cermin itu. Bukan hanya apa yang tampak, tapi yang tak tampak termasuk perasaan.
Allah Ta’ala menjadikan kita makhluk yang memiliki perasaan, di samping akal yang kadang mendominasi kegiatan sehari-hari. Dengan hati nurani dan pikiran tersebut, manusia diberi kelebihan di antara makhluk Allah yang lain. Kendati kita tak bisa menjelaskan secara gamblang, tapi perasaan jelas bisa kita rasakan. Dan terkadang jadi kebutuhan. Kebutuhan akan ketenangan atau kebutuhan untuk kebahagiaan ialah sesuatu yang tak serta merta bisa kita penuhi dengan materi. Di sinilah zikrullah dan interaksi dengan Allah menjadi penting bagi seorang manusia.
Saat bercermin, manusia hanya ingin melihat keindahan dirinya. Memang secara umum, kita pun hanya ingin melihat kebaikan diri. Manusia cenderung ingin dipuji. Jarang sekali kita melihat manusia saat bercermin ingin melihat keburukan dirinya. Padahal itu sangat penting.
Dengan jujur melihat kekurangan pribadi saat bercermin, kita akan terhindar dari banyak penyakit hati. Sudah sering kita mendengar kisah seorang yang sangat berkuasa hingga menyangka dirinya Tuhan, dialah Firaun. Tapi kita lihat di akhir cerita tak selamanya dia berkuasa, betapa pun ia ingin. Kita pun membaca kisah orang yang sangat kaya, dialah Qarun. Lalu di akhir cerita, kekayaannya sendirilah yang jadi awal kebinasaan.
Maka kemampuan bercermin sembari mengevaluasi diri adalah kemampuan yang penting dan wajib dimiliki seorang muslim. Kebiasaan bermuhasabah adalah salah satu sebab kesucian hati. Mengingat dosa adalah kebiasaan dari seorang ahli tobat.
Ingatlah dosa yang sudah menghitamkan hati, sehingga sulit cahaya nurani muncul. Ingatlah aib-aib yang Allah tutup. Jika aib dan dosa itu dibukakan oleh Allah, ditampakkan oleh-Nya, masihkah ada orang yang sudi menjadi karib kita. Sungguh betapa Mahabaik Allah SWT.
Jika saja keburukan kita itu ditampilkan berupa belatung yang menempeli badan, sudah habis tubuh kita ditutupi dan dimakannya. Maka seorang ahli zikir tidak akan sedetik pun membiarkan dirinya terjebak dalam ujub dan riya. Ia menyadari pujian orang lain hanya sebatas karena Allah membiarkan keburukannya tidak diketahui orang lain. Ada pun cacian orang lain, justru menjadi nasihat yang sangat berharga.
Kesadaran ini akan membuat seorang manusia terbiasa merasa diawasi oleh Allah Ta’ala. Bukan hanya saat kesempatan ibadah, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Seorang yang beriman akan melihat manusia bukan hanya sekadar manusia, tapi atribut yang paling penting yakni sebagai makhluk Allah. Sehingga interaksinya senantiasa dipertimbangkan, apakah saat menghinakan manusia, Penciptanya akan marah atau tidak. Apakah saat manusia dicaci, Penciptanya akan suka atau tidak. Begitulah kehati-hatian seorang yang beriman.
Orang yang bertakwa pun selalu memperhatikan setiap perkataan dan tingkah lakunya. Jangan sampai menyakiti manusia, alam, dan makhluk lainnya. Sebab bukan hanya makhluk yang akan tersakiti, tapi Allah sebagai Sang Pencipta juga kemungkinan ikut tersinggung. Hal itu bisa dilatih dengan senantiasa menyadari dosa dan keburukan saat bercermin. (KH. Abdullah Gymnastiar)