Syukur dan Sabar Menghadapi Takdir

Saudaraku, manusia seringkali berlaku egois. Ketika menginginkan sesuatu, ia berdoa habis-habisan dan berupaya sungguh-sungguh demi tercapainya apa yang diinginkannya itu. Tatkala berhasil, ia pun lupa pada Allah SWT. Bahkan ia menganggap keberhasilan itu adalah hasil jerih payah dirinya sendiri. Hal seperti ini yang terjadi pada diri Qarun.

Allah berfirman, “Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.’ Dan apakah ia tidak mengetahui bahwa Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” (QS. al-Qashash [28]: 78).

Sebaliknya, jika kegagalan menimpa, manusia sering kecewa karenanya. Terkadang ia berburuk sangka kepada Allah dan menimpakan kekecewaannya itu kepada siapa saja yang dianggap penyebab kegagalan tersebut. Padahal, rasa kecewa, sedih, dan kesal itu lahir karena manusia terlalu berharap bahwa kehendak Allah harus selalu cocok dengan keinginannya.

Jelas dari kedua sikap tersebut ada sesuatu yang terlewatkan. Yaitu sikap syukur dan sabar. Karenanya, beruntunglah orang yang memiliki sikap sabar ketika musibah datang dan memiliki syukur ketika keberuntungan datang.

Sabar, menurut Dzunnun al-Mishry adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan agama dan bersikap tenang manakala terkena musibah, serta berlapang dada dalam kefakiran di tengah-tengah kehidupan. Atau, seperti kata al-Junaid, “Engkau menelan suatu kepahitan tanpa mengerutkan muka.”

Ada pun syukur adalah sikap memuji pemberi nikmat atas kebaikannya. Seseorang dikatakan bersyukur kepada Allah, apabila ia mengakui nikmat itu di dalam batinnya, lalu membicarakannya dengan lisan, serta menjadikan karunia itu sebagai ladang ketaatan kepada-Nya. Pada hakikatnya syukur merupakan perwujudan sikap sabar ketika manusia mendapat nikmat.

Mengapa kita harus bersabar ketika mendapatkan nikmat? Karena, nikmat itu bisa saja menggelincirkan manusia ke dalam kekhilafan dan memperturutkan hawa nafsu. Banyak orang yang mampu bersabar ketika diuji dengan kesulitan, tapi tidak mampu bersabar ketika diuji dengan kenikmatan.

Sebuah ujian pernah menimpa Ummu Sulaim. Suatu hari anaknya meninggal dunia, padahal suaminya sedang bepergian. Ummu Sulaim berusaha agar kematian anaknya itu tidak langsung diketahui oleh suaminya ketika ia baru saja datang dari perjalanan. Ia mempersiapkan hidangan untuk menyambut suaminya.

Ketika sang suami datang, ia pun segera menyantap hidangan yang telah dipersiapkan dengan lahapnya. “Bagaimana keadaan anak kita sekarang?” tanya suaminya. “Alhamdulillah, sejak sakitnya itu tidak pernah setenang malam ini,” jawab Ummu Sulaim.

Sementara itu, Ummu Sulaim menghias diri dengan memakai pakaian terindah yang dimilikinya, agar sang suami timbul hasratnya. Tak lama setelah sang suami menggauli dan memuaskan hajatnya, Ummu Sulaim mulai bertanya, “Apakah Kanda tidak merasa heran dengan tetangga-tetangga kita itu?”

“Kenapa mereka?” tanya suaminya.

“Mereka diberi pinjaman, tetapi setelah diminta kembali, tiba-tiba mereka menunjukkan kedukacitaan yang luar biasa,” jawab Ummu Sulaim.

“Buruk sekali kelakukan mereka itu,” ujar suaminya.

Ketika itulah ia memberitahukan apa sebenarnya yang terjadi terhadap anaknya. “Kanda,” ujarnya. “Bukankah anak kita itu hanya pinjaman dari Allah? Dan kini Allah telah memanggilnya kembali.”

Setelah mendengar perkataan istrinya tersebut, sang suami pun sadar akan apa yang terjadi. Keesokan harinya, pagi-pagi benar suaminya pergi ke tempat Rasulullah saw dan memberitahukan kejadian tersebut. Rasul pun berdoa untuk keluarga itu, “Ya Allah, berilah keberkahan untuk kedua suami istri itu pada malam harinya tadi.”

Dalam kisah lain diceritakan bagaimana sedihnya Nabi Ya’kub ketika mendengar anaknya, Yusuf meninggal, hingga dikisahkan bagaimana matanya menjadi putih (QS. Yusuf [12]: 84). Dan kesedihan itu semakin bertambah ketika anaknya yang lain, Bunyamin ditahan pemerintah Mesir. Namun, apa yang dikatakan Nabi Ya’kub ketika itu? “Fa shabrun jamiil” (QS. Yusuf [12]: 83). Sabar itu indah!

Jadi, kemampuan merasakan nikmatnya sabar terletak pada seberapa besar mutu pengakuan adanya takdir dan kemahakuasaan Allah SWT. Seseorang bisa sabar seperti yang dilakukan Ummu Sulaim dan suaminya, jika ia mampu meyakini semua yang terjadi karena izin Allah, dan meyakini Allah tidak akan menzalimi hamba-Nya.

Dengan demikian, syarat mutlak orang bisa bersabar adalah ketika ditimpa sesuatu kejadian dalam hidupnya, pikirannya langsung tertuju hanya kepada Allah. Inilah kunci terpenting yang harus dimiliki siapa saja yang ingin menjadi ahli sabar.

Karena itu, keindahan dan keluhuran pribadi seseorang dapat dilihat dari sejauh mana ia pandai bersabar. Semakin seseorang mampu bersabar, niscaya semakin indah pula akhlaknya. Jaminan Allah pun demikian luar biasa bagi ahli sabar. “Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. az-Zumar [39]: 10).

Salah satu dari rukum iman adalah iman kepada qada dan qadar Allah SWT. Hanya pada kekuasaan Allah segala kejadian di alam semesta ini. Hanya atas izin Allah suatu peristiwa bisa terjadi. Ketetapan Allah yang sudah terjadi dan tidak bisa diubah lagi adalah sesuatu yang harus kita sikapi dengan penuh kesabaran dengan cara mensyukurinya.

Allah takdirkan kita lahir di Indonesia, menjadi keturunan dari ayah ibu yang juga orang Indonesia, dengan kulit berwarna seperti ini, bentuk tubuh yang seperti ini, adalah urusan yang perlu dihadapi dengan sabar. Tidak perlu sibuk ingin seperti orang Amerika atau Eropa, tetapi sibuklah ingin akhlak seperti Rasululah dan para sahabat.

Karena Allah berfirman, “Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. al-Furqan [25]: 2).

Ada pun pada kejadian-kejadian yang masih mungkin bisa kita ubah, kita mesti bersabar dengan jalan berserah diri kepada Allah, berdoa dan berikhtiar memperbaiki diri serta memperbaiki kekurangan yang ada. Sudah membuat perencanaan, menjalankannya dengan sungguh-sungguh, tapi hasil tidak sesuai harapan, maka tugas kita adalah bersabar diiringi evaluasi diri dan memperbaiki kekurangan yang terjadi.

Karena Allah berfirman, “..Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..” (QS. ar-Ra’du [13]: 11).

Sabar dalam menghadapi kenyataan yang terjadi adalah kunci dari pertolongan Allah. Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapat pertolongan-Nya. Aamiin yaa Rabbal’aalamiin. (KH. Abdullah Gymnastiar)