Stres dan Pengaruhnya pada Sperma
”Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Nahl [16]: 97)
”Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta…” (QS. Thâhâ [20]: 124)
Kata “stres” adalah satu dari sejumlah istilah psikologi yang sudah sangat lazim di telinga. Tidak hanya lazim dalam istilah, dalam praktiknya pun disadari atau tidak, gejala stres telah menjadi bagian keseharian kita. Terkadang kita begitu bersemangat dalam bekerja, seakan-akan energi kita tiada batasnya. Namun, terkadang pula kita merasa letih, lesu, loyo, kehilangan mood, bete, sehingga merasakan keluhan fisik yang tidak jelas dari mana asalnya. Semua itu sesungguhnya adalah bagian dari stres.
Secara sederhana, stres dapat diartikan sebagai reaksi atau respons tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap stresor psikologis. Semacam tekanan mental, beban kehidupan, dan aneka permasalahan. Lihatlah bagaimana respons tubuh ketika kita harus menghadapi beragam target dan beban kerja yang berlebihan. Apabila kita sanggup mengatasi beban tersebut, artinya tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh, pada saat itu kita bersangkutan tidak mengalami stres. Namun sebaliknya, jika ternyata kita mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh, sehingga kita tidak mampu menjalankan pekerjaannya secara optimal, pada saat itu kita mengalami distres.
Itulah mengapa, tidak semua bentuk stres bermakna negatif (buruk). Ada stres yang positif (eustress) dan ada pula stres yang negatif (distress). Bahkan, Dr. Hans Seyle—seorang peneliti masalah stres—mengatakan bahwa eustress dapat mengoptimalkan sistem kekebalan tubuh, merawat kebahagiaan, dan meningkatkan harapan hidup.
Tahapan Stres
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas tentang gejala stres, kita perlu melihat apa dan bagaimana stres itu sebenarnya. Apakah stres itu sebuah gejala tunggal ataukah sebuah proses. Untuk itu, kita dapat merujuk pada pendapatnya Dr. Robert van Amberg.
Menurut van Amberg, stres itu memiliki enam tahapan. Tahap I adalah stres paling ringan. Seseorang akan dihinggapi gejala stres yang berkonotasi positif, seperti bertambahnya semangat kerja, penglihatan menjadi lebih tajam, meningkatnya rasa senang terhadap pekerjaan, dan mampu menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dari biasanya. Orang yang mengalami stres Tahap I sebenarnya sedang menghabiskan cadangan energinya yang dimilikinya.
Ketika stres Tahap I selesai, dia akan memasuki stres Tahap II. Jika pada awalnya menyenangkan, pada tahap ini seseorang mulai merasakan aneka keluhan sebagai akibat tidak cukupnya cadangan energi, seperti cepat lelah—khususnya pada sore hari, merasa letih ketika bangun pagi, jantung berdenyut lebih cepat dari biasanya alias berdebar-debar, tidak bisa santai, dan otot-otot mulai terasa tegang.
Apabila keluhan ini tidak dihiraukan dan terus memaksakan bekerja, stres pun akan memasuki tahap III, yang mana aneka penyakit mulai berdatangan, semacam insomnia, diare, maag, meningkatnya ketegangan emosi, dan terganggunya sistem koordinasi tubuh—badan terasa lunglai dan mau pingsan. Pada tahap ini seseorang sudah harus berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan terapi, atau melakukan terapi sendiri dengan mengurangi beban emosi dan fisik.
Jika hal ini dibiarkan, stres tahap IV pun akan muncul. Gejalanya biasanya lebih berat, sebagai contoh: seseorang sangat sulit untuk bertahan walau hanya satu hari, tidak mampu lagi menyelesaikan pekerjaan rutin, hilangnya kemampuan untuk bersikap tanggap terhadap situasi, pekerjaan yang awalnya menyenangkan menjadi membosankan dan tampak sulit, menurunnya konsentrasi dan daya pikir, dan mulai muncul perasaan takut dan cemas yang tidak jelas ujung pangkalnya.
Jika keadaan terus berlanjut, seseorang akan jatuh pada stres Tahap V yang ditandai dengan: kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam, tidak mampu lagi mengerjakan pekerjaan rutin walaupun itu ringan, gangguan sistem pencernaan semakin berat (gastro intestinal disorder), perasaan takut, kecemasan, dan kepanikan yang semakin meningkat, yang bersangkutan pun menjadi mudah bingung.
Puncaknya adalah stres Tahap VI. Inilah klimaks dari lima tahapan sebelumnya. Seseorang akan mengalami serangan panik dan perasaan takut mati. Orang yang terkena stres Tahap VI ini seringkali harus masuk UGD berkali-kali karena beratnya keluhan yang diderita, walau secara medis tidak ditemukan “kelainan” pada fisiknya. Gambaran stres Tahap VI dapat dilihat dari beberapa gejala berikut: debaran jantung sangat keras, sulit bernapas, badan gemetar, keringat dingin mengucur deras, tidak lagi memiliki tenaga untuk melakukan hal-hal kecil, mengalami pingsan atau kolaps.
Dengan demikian, stres sebenarnya merupakan sebuah proses. Yang mana ada tahap-tahap tertentu, mulai dari paling ringan sampai paling berat. Stres Tahap I dan II dapat dikatakan masih berada pada tahap kewajaran, dan semua orang pernah merasakannya. Namun, stres mulai tidak wajar apabila sudah mendatangkan gangguan fisik dan kejiwaan. Untuk menjaga kewajaran stres yang kita alami, kita harus memiliki keseimbangan dalam hidup, cukup istirahat, makan, relaksasi, beribadah, bersikap mandiri, mau memaafkan, dan tidak memaksakan diri apabila gejala-gejala stres telah datang.
Pengaruh Stres terhadap Kualitas Sperma
Pada level-level awal, stres termasuk hal wajar. Namun, menjadi kurang wajar apabila sudah menyentuh level-level yang lebih tinggi. Terlebih jika hal tersebut berlangsung lama dan intens. Bagi seorang laki-laki, khususnya dewasa, stres yang berkepanjangan bisa mengganggu kualitas sperma, yang seharusnya baik menjadi buruk. Apabila tidak segera ditanggulangi, hal ini akan berefek pada buruknya kualitas keturunan yang dihasilkan.
Seperti apa prosesnya? Sperma diproduksi setiap 48 jam sedangkan sel telur diproduksi sebulan sekali. Dari proses awal, dalam kelenjar testis ada pengaruh kelenjar hormonal, ada protein, hormon, dan sel sekitar, seperti halnya pabrik otomotif dengan divisi kerja masing-masing. Demikian pula sperma, ada proses awal sampai akhir yang menentukan kualitasnya. Apabila proses awalnya sudah diwarnai perasaan takut, tertekan, dan juga yang rakus atau banyak makan sehingga ada sebagian karbohidratnya yang tidak bisa dimetabolisme secara sempurna alias terglukolisasi.
Karbohidrat yang tidak termetabolisme secara sempurna ini bisa menempel di daerah-daerah kelenjar tertentu, sehingga menghalangi sejumlah reseptor untuk menerima gula dan zat-zat lain. Proses produksi sperma pun menjadi terganggu. Akibatnya, sperma yang dihasilkan menjadi tidak sempurna. Sebenarnya, hasilnya tetap yang terbaik, akan tetapi bukan the best among the best, tetapi the best among the worst. Pada kaum ibu pun demikian, bahwa produksi sel telur pun sangat dipengaruhi oleh pikiran.
Intinya, kita harus menjaga kebersihan jiwa dengan zikir dan amal saleh, mampu mengelola stres, mengonsumsi makanan yang thayyib alias baik dan proporsional, dan menjalani hidup dengan jiwa yang lapang. (Tauhid Nur Azhar)