Silaturahmi dan Pesta Demokrasi
Hiruk pikuk pesta demokrasi di negeri ini, membuat sebagian orang mengalami putus silaturahmi. Peristiwa ini sungguh membuat hati merasa ironi. Apalagi bila mengingat bahwa yang putus silaturahmi itu ialah saudara sesama muslim, sekaligus saudara setanah air.
Jika zaman dahulu kita sulit mengetahui siapa bupati, gubernur, hingga presiden pilihan tetangga sebelah rumah. Kini, jangankan pilihan tetangga sebelah rumah, pilihan orang lain di sebrang lautan juga dapat diketahui. Kecanggihan teknologi informasi, dan maraknya pengguna beragam akun media sosial, membuat mereka tak canggung lagi mengutarakan siapa calon pemimpin pilihannya.
Satu sisi, tak ada salahnya mengutarakan pendapat, dan memilih sesuai yang diminati dari hati. Namun di sisi lain, hal itu dapat menyulut emosi, memicu pertikaian, hingga putus silaturahmi. Penyebabnya banyak, di antaranya karena postingan yang diunggah melalui media sosial, seringkali bernada sinis pada pilihan orang lain, atau calon pemimpin yang bukan pilihannya.
Saling memanggil dengan sebutan yang buruk, tentu tak layak dilakukan oleh seseorang yang beriman, serta berpendidikan. Panggilan-panggilan buruk itu terus digaungkan, hingga diikuti oleh para pelajar yang masih duduk dibangku sekolahan. Padahal, Islam dengan tegas mengajarkan melalui Kitab Suci al-Quran, bahwa tidak diperkenankan bagi seorang muslim untuk saling mencela, dan memanggil dengan panggilan yang buruk.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS.Al-Hujurat [49] : 11).
Menyikapi Perbedaan
Setiap kepala, memiliki pemikirannya masing-masing. Bahkan, dalam satu keluarga yang satu ibu dan ayah saja, seringkali ditemukan perbedaan pendapat. Maka, berbeda pendapat dengan orang lain, seharusnya menjadi sesuatu yang biasa saja. Tapi rupanya, tidak demikian yang terjadi di masa-masa pesta demokrasi.
Masih jelas dalam ingatan, bagaimana panasnya Pilgub (Pemilihan Gubernur) di salah satu provinsi di negeri ini. Isu SARA kencang sekali menerpa. Kasus penistaan agama yang memicu kemarahan umat. Dilanjut saling hujat dengan panggilan buruk yang tak kunjung usai. Pilgub-pilgub selanjutnya pun hampir diwarnai hal serupa. Para pendukung kedua belah pihak bertikai di media sosial. Ada pula akun-akun yang memprovokasi dengan menyebarkan fitnah-fitnah, memperkeruh situasi dan kondisi. Lantas, siapa yang jadi korban? Tentu warga negara di Republik Indonesia ini. Mereka jadi saling bertikai, hingga saling membenci dan memutuskan silaturahmi.
Padahal, di negeri yang menganut sistem demokrasi, serta keterbukaan media informasi, harusnya membuat seseorang dapat lebih bijaksana. Baik itu bijaksana dalam mengutarakan pendapat dan pilihan, maupun menyikapi perbedaan pendapat dengan kawan, bahkan lawan. Tidak mudah memang, karena nafsu cenderung ingin membalas komentar orang lain, dan rasa hati tak mau dikalahkan. Tapi, kembali lagi, bijak dalam menjawab pun penting dilakukan. Jangan sampai, maksud hati mau meluruskan, malah seperti menyiram bensin pada percikan api. Ujung-ujungnya, pertikaian tak dapat dihindarkan, dan silaturahmi dengan saudara, kawan, kerabat, menjadi sangat buruk.
Tetap Tenang, Tidak Reaktif
Tahun 2019 nanti, Indonesia akan menggelar pemilihan presiden. Suasana pilpres nya sudah terasa dari sekarang, khususnya setelah kedua pasangan calon (paslon) secara resmi diumumkan. Masih ada waktu untuk menimbang, menilai, dan meminta petunjuk Tuhan (Allah SWT). Jangan mudah termakan settingan, berita hoax, dan tersulut emosi tanpa bukti dan fakta yang jelas.
Jaga hati, jaga lisan, jaga tulisan, itulah hal penting yang dapat kita lakukan. Pilpres, Pilgub, dan semacamanya, bukanlah segalanya. Jangan sampai hal itu merusak ketauhidan kita kepada Allah SWT. Jangan sampai hal itu juga malah menambah timbangan dosa, karena menghalalkan segala cara, termasuk memfitnah dan mencaci maki manusia. Tetap tenang, tidak reaktif, dan selalu meminta petunjuk serta pertolongan Allah SWT. Semoga Allah SWT memberkahi kita, dan Indonesia tercinta.
Oleh : Cristi Az-Zahra, sumber foto : Daarut Tauhiid