Shibghatallah: Jatidiri Terbaik Seorang Muslim
Setiap agama tatacara yang mengatur hidup ummatnya. Setiap ideology, pun mengajarkan hal-hal yang berbeda dalam memandang kehidupan ini, lalu mewujudkan sikap dan perilakunya masing-masing. Budaya dan peradaban manusia, mencerminkan nilai yang hidup dalam diri bangsa. Dan diantara sekian banyak tatanan nilai, cara pandang dalam melihat kehidupan, kerangka yang menyusun peradaban dan budaya manusia, maka Islam menjadi sumber nilai yang akan membentuk jatidiri kaum muslimin.
Jatidiri muslim, adalah nilai-nilai yang hidup dalam diri seorang muslim. Nilai-nilai ini akan membentuk identitas diri seorang muslim, sekaligus akan menjadi ciri beda dengan ummat lainnya. Perbedaan yang menampakkan keistimewaan dan keindahan diantara identitas ummat lain. Nilai ini, berasal dari apa yang Allah turunkan melalui RasulNya, yakni Islam. Islam lah yang mewarnai seluruh diri kaum muslimin. Islam adalah celupan istimewa yang diberikan Allah SWT bagi kaum muslimin.
Dalam salah satu ayatnya, Allah SWT berfirman: “Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepadaNyalah kami menyembah”. (QS. Al-Baqarah 138)
Celupan, begitulah Allah SWT mengistilahkan ajaran Islam dan keimanan seorang muslim. Celupan ini, akan mewarnai “kain” seorang muslim. Celupan ini akan meresap ke seluruh sendi-sendi, memasuki setiap serat-seratnya, lalu muncullah penampakkan yang indah, warna yang memikat serta corak yang istimewa. Begitulah gambaran seorang muslim yang telah ter-shibghah oleh shibghah Allah.
Shibghah ini adalah keimanan yang penuh atas seluruh ajaran, nilai dan ketetapan Allah SWT. Shibghah ini akan masuk meresap ke dalam diri seorang muslim, yang telah dengan kesadaran dan penuh pemahaman, menerima Islam. Kesadaran dan pemahaman yang pertama adalah atas makna syahadatain (persaksiannya), yang akan melahirkan kecintaan kepada Allah SWT. Rasa cinta (mahabbah) inilah yang akan menumbuhkan keinginan yang kuat serta sikap menerima atas seluruh perintah Allah SWT. Sikap menerima seluruh ajaran Allah SWT, maka seorang muslim telah membuka diri sepenuhnya untuk menerima celupan Allah. Keterbukaan yang sempurna, menjadikan celupan yang utuh dan sempurna pula pada dirinya.
Celupan ini secara sempurna akan mewarnai seorang muslim. Warnanya akan mengikat erat pada seluruh serat dalam diri seorang muslim. Keindahannya pun akan tampil abadi dan cemerlang. Indah, tidak hanya pada penampakkannya. Keistimewaannya pun, tidak bisa disembunyikan. Celupan Allah, akan mewarnani sisi dalam (dakhiliyah) seorang muslim dan nampak pada sisi luarnya (khariziyah)nya.
Sisi dalam yang terwarnai dalam siri seorang muslim mencakup warna aqidahnya yang lurus dan shahih, jauh dari penyimpangan dan kesesatan. Aqidah para sahabat shalafus shalih. Warna pemikirannya (fikrah) pun akan mencerminkan wawasan dan cara pandang Islami, selalu merujuk kepada nilai-nilai Islam. Selera dan perasaannya (su’ur) pun fitrah rabbaniah, selalu cenderung pada nilai-nilai Rabbani, nilai-nilai Islam. Ini adalah sisi dalamnya.
Sedangkan sisi luarnya, akan nampak jelas pada seluruh sikap dan perilakunya. Celupan Allah akan menjadi warna istimewa yang menjadikan cirri khas seorang muslim (simat). Dari penampilannya, celupan ini akan mewarnai wajah seorang muslim dengan raut muka yang cerah, murah senyum dan ramah. Dari pakaiannya, seorang muslim tampil bersih, rapi dan sopan menutup auratnya. Demikian pula halnya dalam seluruh sikap dan perilakunya (suluk) menampakkan keistimewaan seorang muslim.
Bila celupan Allah telah meresap pada diri seorang muslim, maka tidak akan ada yang lebih istimewa keberadaannya selain kaum muslimin. Tidak akan ada ummat yang kehadirannya lebih baik, lebih indah dan lebih bermanfaat daripada kaum muslimin. Sungguh, bila Islam telah menjadi celupan yang membentuk jatidiri muslim, maka ummat manusia pun tidak sulit untuk merasakan keindahan dan kenikmatan hidup dalam naungan Islam. “Dan siapakah yang lebih baik celupannya daripada celupan Allah?”
Saatnyalah bagi kita, kaum muslimin, untuk mulai membuka diri selebar-lebarnya sehingga celupan Allah dapat meresap ke dalam seluruh sendi tubuh kita, dalam hati dan pikiran, ke dalam sikap dan perilaku kita. Perlahan celupan itu akan mewarnai diri kita, menjadi jatidiri kita sebagai seorang muslim. (daaruttauhiid)