Seputar Sunat pada Perempuan
Jika kita mencermati literatur mengenai sunat pada perempuan, maka akan ditemui beragam pandangan. Apalagi tindakan ini bagi beberapa kelompok masyarakat (terutama di pedesaan) telah menjadi tradisi dan mengakar kuat dalam keseharian mereka.
Sunat atau khitan (sirkumsisi) pada laki-laki adalah tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis. Sedangkan sunat pada perempuan adalah memotong kulit di sekitar klitoris.
Kerugian Sunat Perempuan
Seiring berkembangnya pengetahuan, diketahuinya bahwa banyak kerugian yang diderita perempuan dengan tindakan ini. Sunat perempuan makin disadarinya tidak memiliki kesamaan manfaat dibandingkan dengan sunat laki-laki.
WHO mencatat ada 4 tipe tindakan sunat pada perempuan. Tindakan memotong kulit di sekitar klitoris ini merupakan tipe yang paling ringan. Bayangkan bagaimana kondisi dari tipe-tipe lainnya yang lebih berat. WHO pun memperkirakan di dunia saat ini ada sekitar dua juta anak perempuan setiap tahunnya disunat dengan berbagai cara.
Di dalam dunia medis, tindakan ini tidak dikenal sama sekali. Baik itu bentuk pemotongan atau pengirisan kulit di sekitar klitoris, apalagi pemotongan klitorisnya. Hal ini sangat merugikan.
Tetapi banyak praktik sunat perempuan dilakukan oleh tenaga medis. Bahkan sunat perempuan ini bukan monopoli orang ”terbelakang”. Tidak sedikit keluarga muda, sarjana, bekerja dan hidup di perkotaan, justru bersemangat melakukannya terhadap anaknya. Padahal di masa kecilnya mereka tidak mengalami.
Berbagai alasan yang kompleks dan beragam yang menjadi dasar melakukan sunat perempuan ini, di antaranya adalah hubungan erat antara konsep gender dan seksualitas, nilai budaya dan agama. Tradisi dan praktik telah dijalankan secara turun temurun tanpa diusut apa perlunya, dan tanpa disadari adanya keinginan untuk mengontrol seksualitas perempuan ketika ia dewasa. Sunat perempuan akhirnya tertanam sebagai tradisi dan nilai keluarga.
Dalam alasan agama, sebagian meyakini bahwa sunat perempuan dapat menstabilkan rangsangan syahwatnya. Bila dikhitan terlalu dalam dapat membuat dia tidak memiliki hasrat sama sekali. Sebaliknya bila kulit yang menonjol ke atas vaginanya (klitoris) tidak dipotong bisa berbahaya, karena bila tersentuh sesuatu akan mudah terangsang.
Larangan Sunat Perempuan
Dalam laporan PBB, Indonesia termasuk negara yang masih mempraktikkan sunat perempuan, padahal sudah ada larangannya. Sunat perempuan diasumsikan pakar kesehatan sebagai tindakan yang merusak organ reproduksi, sehingga perlu undang-undang untuk mengatur praktiknya.
Beberapa tahun lalu, pemerintah telah mengeluarkan seruan untuk menghentikan medikalisasi sunat perempuan.Tetapi seruan ini pun harus dikaji secara komprehensif Penelitian tentang sunat perempuan selama tiga tahun di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan 28 persen sunat dilakukan hanya sebagai ”simbolis”, artinya tidak ada goresan atau sayatan. Tetapi sisanya sebanyak 72 persen dilakukan dengan cara berbahaya seperti sayatan, goresan dan pemotongan sebagian atau seluruh ujung klitoris. Tindakan berbahaya itu 68 persen dilakukan dukun beranak dan hanya 32 persen dilakukan tenaga medis.
Pemerintah pun telah menghimbau kepada tenaga kesehatan untuk tidak melakukan medikalisasi atau tindakan memotong, mengiris, melukai, atau merusak organ genital perempuan/klitoris. Imbauan ini disampaikan melalui organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia dan Ikatan Bidan Indonesia. Tindakan sunat ini merupakan tindakan medis yang dilarang.
Lebih jauh lagi para tenaga medis dapat memberikan banyak penjelasan soal kesehatan reproduksi, terutama bagi perempuan. Dan yang terpenting bagi para orangtua yang berkeinginan untuk memenuhi kewajiban sunat bagi anaknya, dikaji lebih mendalam lagi bagaimana keuntungan dan kerugiannya.
Muara dari semua itu pada akhirnya masyarakat sendiri yang dapat membuat keputusan. Sebaiknya tenaga kesehatan tidak perlu menolak jika ada keluarga yang ingin mengkhitankan bayi perempuannya. Sebab akan lebih beresiko jika masyarakat lari ke bidan kampung (dukun) yang tidak tahu tata cara kebersihan dengan benar. Apalagi lazimnya sunat ini dilakukan pada saat anak masih bayi dan secara simbolis saja. Kalau anak sudah besar dan baru masuk Islam, maka sunat tidak perlu dilakukan. (daaruttauhiid)