Sekelumit Kisah tentang Probiotik dan Prebiotik

“Orang yang mengonsumsi probiotik akan cenderung bersikap tenang dan bijak saat menghadapi persoalan. Adapun yang tidak mengonsumsi cenderung akan bersifat sensitif, emosional, dan temperamental.”

Perut beserta jalinan usus di dalamnya adalah gerbang masuk berbagai sumber nutrisi. Nutrisi ini kelak akan dikonversi menjadi energi. Usus, dan juga mulut, serta kerongkongan adalah “port de entre” atau pelabuhan utama tempat dunia “luar” berhubungan dengan dunia “dalam”. Inilah daerah transisi, daerah abu-abu, atau mungkin lebih tepat disebut sebagai daerah lintas dimensi.

Usus pun, meski berperan sebagai garda depan tubuh manusia sebagaimana juga kulit atau sistem integumentum lainnya, memiliki keteraturan yang sistematik dan terstruktur. Mulai dari struktur anatominya yang unik, sistem katalistik enzimatiknya yang canggih, dan juga sistem imunitasnya yang khas. Berbagai enzim dan asam bahu membahu dengan garam empedu serta gerakan menggiling (peristaltik) membongkar bahan makanan agar layak dan dapat diserap.

Pada bagian bawah, usus besar siap menyedot kembali air dari makanan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh agar tidak dehidrasi. Di sepanjang mukosa usus halus terdapat tonjolan bernama vili dan sebaran “markas” pasukan imunitas yang antara lain bernama plaques peyeri.

Nah, di dalam ekosistem usus itulah bermukim koloni-koloni bakteri yang menjalankan berbagai fungsi fisiologi. Bakteri-bakteri baik ini dikenal sebagai flora normal ataupun bakteri komensal. Jenisnya antara lain laktobasilus dan bifidobakter. Apa fungsinya? Jangan ditanya, banyak! Mulai dari membantu proses metabolisma melalui produk metabolitnya, mensintesa vitamin K, sampai membantu proses penguatan sistem pertahanan tubuh atau imunitas.
***
Tapi nanti dulu, ternyata tidak hanya itu. Seiring dengan semakin terkuaknya hubungan yang teramat “mesra” antara saluran cerna dengan otak, peran bakteri baik pun semakin asyik bin ciamik untuk ditelisik. Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Gail and Gerald Oppenheimer Family Center for Neurobiology of Stress UCLA menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara keberadaan bakteri baik atau probiotik dengan tingkat stres dan pengendalian emosi. Wah soal probiotik ini jadi makin menggelitik ya?

Dengan dipimpin oleh duo maut Dr. Kirsten Tillisch dan Dr. Emeran Mayer dari David Geffen School of Medicine UCLA, telah dilakukan penelitian pada 36 wanita dengan rentang usia antara 18 sampai dengan 55 tahun yang dibagi menjadi 3 kelompok penelitian. Kelompok pertama diminta untuk mengonsumsi probiotik selama 4 minggu berturut-turut. Kelompok kedua tidak mengonsumsi probiotik, adapun kelompok ketiga mengonsumsi produk susu yang bersifat prebiotik tanpa kandungan probiotik. Lalu apa yang diperiksa dan diukur? Baik sebelum dan sesudah serta baik dengan diberikan tekanan atau tidak, subyek penelitian dipindai otaknya dengan menggunakan piranti fMRI (functional magnetic resonance imaging).

Tekanan psikis dilakukan oleh peneliti dengan memperlihatkan stimulus visual berupa wajah-wajah orang marah dan menakutkan. Hasilnya bagaimana? Pada kelompok pengonsumsi probiotik didapatkan hasil berupa penurunan aktivitas sirkuit yang menghubungkan area asosiasi visual dengan pusat afeksi dan kognisi, khususnya di daerah insula yang berfungsi sebagai pengintegrasi sensasi dari daerah internal tubuh dengan korteks somatosensori. Reaksi lanjutan yang terjadi adalah penurunan aktivitas area pengendali emosi, kognisi, dan sensoris terkait. Dengan kata lain, mereka-mereka yang memiliki kandungan probiotik tinggi di dalam saluran cernanya lebih mampu meredam dan mengendalikan gejolak emosi di otaknya.
***
Mengapa bisa demikian? Hal ini sesungguhnya wajar, mengingat usus atau saluran cerna memiliki hubungan “khusus” dengan otak, terutama melalui aktivitas neuropeptida. Peptida otak yang bersumber dari usus itu tergolong dalam kategori neurotransmiter bermolekul besar. Neuropeptida yang bersumber dari saluran cerna itu antara lain adalah: kolesistokinin, gastrin, motilin, polipeptida pankreatin, sekretin, substansi P, dan polipeptida intestinal yang bersifat vasoaktif.

Keberadaan dan fungsi peptida saluran cerna ini sangat penting dalam proses pengolahan data di otak dan juga terlibat dalam fungsi fisiologi lain seperti pelebaran pembuluh darah. Aliran darah yang baik ke otak dan jaringan tubuh lainnya dapat menghindari terjadinya proses penyumbatan pembuluh darah dan tingginya tekanan darah. Secara spesifik, keberadaan neuropeptida saluran cerna ini sangat bergantung pada kehadiran probiotik dan prebiotiknya.

Hasil lain dari penelitian Tillisch et.al. antara lain adalah terpetakannya aktivitas sirkuit neuronal yang tinggi antara periaquaduktal grey dengan area asosiasi dan kognisi di daerah prefrontal korteks (PFC) pada kelompok pengonsumsi probiotik. Sedangkan kelompok yang tidak mengonsumsi justru memiliki aktivitas neuronal yang kuat di sirkuit penghubung antara periaquaduktal grey dengan pusat emosi dan sensasi. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa para pengonsumsi probiotik akan cenderung bersikap tenang dan bijak saat menghadapi persolan, sedangkan yang tidak mengonsumsi cenderung akan bersifat sensitif, emosional, dan temperamental.

Adapun yang mengonsumsi prebiotik saja dari produk susu tanpa probiotik punya kecenderungan mendekati karakteristik sebagaimana para pengonsumsi probiotik.
***
Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa apa yang kita makan dapat mempengaruhi sifat dan perilaku kita sebagai manusia. Kurangnya asupan makanan berserat tinggi dan prebiotik seperti inulin akan mendorong terjadinya penurunan populasi probiotik yang pada gilirannya akan mengganggu kesetimbangan neuropetida saluran cerna yang tentu saja akan berdampak pada pengendalian emosi dalam ranah afeksi dan kognisi.

Jangan-jangan di negeri kita ini marak korupsi dan orang yang bersifat iri dengki disebabkan oleh salah konsumsi dan kurangnya probiotik yang bisa menenangkan hati ya? ***

(Oleh : Tauhid Nur Azhar)