Sejarah Tata Tulis Al-Quran
Berasal dari naskah-naskah yang dikirim Khalifah Utsman, umat Islam menyalin al-Quran untuk mereka masing-masing dengan sangat hati-hati hemat dan cermat. Abdul Aziz bin Marwan saat menjadi Gubernur Mesir setelah menulis mushafnya menyuruh orang memeriksa seraya berkata, “Barang siapa dapat menunjukkan barang satu kesalahan dalam salinan ini akan dihadiahkan kepadanya seekor kuda dan 30 dinar.”
Di antara yang memeriksa itu ada seorang qari yang dapat menunjukkan satu kesalahan yakni perkataan naj’ah padahal sebenarnya na’jah. Maka dengan tersebarnya mushaf itu bersungguh-sungguhlah umat Islam menghafal al-Quran, mentajwidkan hafalannya, dan menyalin mushaf-mushafnya.
Permulaan Budaya Tulis
Tulis menulis dalam tradisi orang Arab jahiliyah amatlah minim. Yang mula-mula belajar menulis di antara orang Arab ialah Basyr bin Abdil Malik, saudara ‘Ukaidir Daumah. Ia belajar pada orang al-Anbar, kemudian ia pergi ke Mekah dan di situ ia beristrikan Shahba’, anak Harb ibn Umayyah, saudara Sakhr Abu Sufyan. Harb dan anaknya Sufyan belajar menulis padanya. Kemudian Harb mengajar Umar bin Khattab, dan Muawiyah belajar pada Sufyan.
Tulisan orang al-Anbar, diperbaiki oleh ulama Kufah dan tulisan inilah yang dipakai kala itu. Tulisan itu tidak berbaris dan tidak bertitik. Kemudian bentuk tulisan itu diperbaiki oleh Abu Ali Muhammad bin Ali bin Muqlah dan kemudian diperbaiki oleh Ali bin Hilal al-Baghdadi yang terkenal dengan nama Ibnul Bauwab.
Mushaf yang ditulis atas perintah Khalifah Utsman itu tidak berbaris dan tidak bertitik pula. Karena itu dapat dibaca dengan salah satu qiroat yang tujuh. Setelah banyak yang bukan orang Arab masuk ke dalam Islam, mulailah terdapat kecederaan dalam pembacaan. Maka timbullah pada beberapa ulama perasaan takut bahwa Al-Quran akan ditimpakan oleh kecederaan-kecederaan itu.
Tanda Baca
Ketika itu Ziyad bin Abihi yang menjadi hulubalang di Irak meminta kepada Abul Aswad ad-Dualy, salah seorang dari penghulu tabiin untuk membuat tanda-tanda pembacaan. Abul Aswad lalu memberi baris huruf penghabisan dari kalimat dengan memakai titik di atas sebagai baris di atas, dan titik di bawah sebagai tanda baris di bawah, dan titik di samping sebagai tanda di depan, dan dua titik sebagai tanda baris dua.
Sistem Abu Aswad ini tidak dapat mencegah kecederaan di dalam pembacaan. Karena itu untuk membedakan satu huruf dengan yang lain terpaksalah diberi bertitik dan dibariskan kalimah dengan secukupnya. Usaha memberi titik huruf al-Quran itu dikerjakan oleh Nashr bin ‘Ashim dengan perintah al-Hajjaj. Sedangkan urusan memberi baris dikerjakan oleh Khalil bin Ahmad.
Khalil mengubah sistem baris Abul Aswad dengan menjadikan alif yang dibaringkan di atas huruf sebagai tanda baris di atas (fathah), dan yang di bawah huruf sebagai tanda baris di bawah (kasrah), dan waw tanda baris di depan (dhammah). Beliau jugalah yang membuat tanda mad dan tasydid.
Sesudah itu barulah penghafal-penghafal al-Quran membuat tanda-tanda ayat, tanda-tanda waqaf dan ibtida, serta menerangkan di pangkal-pangkal surah nama dan tempat turunnya di Mekah atau di Madinah, juga menyebut bilangan ayatnya. Menurut riwayat sebagian dari pekerjaan-pekerjaan ini dikerjakan atas kemauan Khalifah al-Ma`mun.
Ada riwayat bahwa yang mula-mula memberi titik dan baris ialah al-Hasan al-Bishri dengan perintah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan memerintahkan kepada al-Hajjaj waktu berada di Wasith agar meminta al-Hasan al-Bishri dan Yahya bin Ya’mura, murid Abul Aswad ad-Dualy. Demikianlah terus-menerus raja-raja Islam dan ulama-ulamanya memperbagus tulisan al-Quran hingga sampailah kepada masa dicetaknya oleh percetakan modern. (Gian)