Sebaik-baik Bentuk
Apa sebenarnya yang harus kita kecewakan dengan tubuh ini? Padahal Allah sebagai Pemilik, Pencipta, dan Perancang tubuh kita telah menegaskan bahwa Dia telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk. Manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk dan penciptaan menurut Allah yang Mahaluas ilmu-Nya, serta Mahaadil, dan Mahabijaksana dalam menentukan segala sesuatu. Seperti termaktub dalam firman-Nya:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ ۖ ﴿التين : ۴
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. at-Tin [95]: 4).
Subhanallah! Mau bentuk seperti apalagi yang kita inginkan kalau sebaik-baik bentuk menurut ilmu Allah kita anggap salah dan kurang? Penilaian kita memang sangat cenderung kepada sesuatu yang bersifat inderawi dan duniawi belaka, yang tentu saja amat diselimuti hawa nafsu. Sedangkan penilaian yang didasarkan pada hawa nafsu akan membuat kita semakin buta terhadap hikmah di balik kejadian yang telah ditetapkan-Nya.
Sesungguhnya Allah sangat menginginkan kita kembali ke surga, tempat asal-usul kita semua. Tidak heran kalau Allah membuat berbagai cara, baik tuntunan maupun perlindungan, agar kita benar-benar terpelihara tatkala menjalani hidup yang amat singkat di alam dunia ini. Sehingga semua bisa kembali ke tempat kenikmatan abadi.
Ya, bisa jadi di antaranya dengan membuat kekurangan pada tubuh ini, sehingga tertutuplah peluang bagi kita untuk berlaku riya, ujub, dan takabur. Bukankah Rasulullah saw pernah bersabda, “Sekali-kali tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada perasaan takabur walau sebesar dzarrah.” Hati yang takabur sering kali mewujud berupa sikap yang cenderung gemar meremehkan orang lain karena merasa diri ‘lebih’. Bahkan lebih jauh lagi bisa berupa sikap gemar mendustakan kebenaran. Na’udzubillahi min dzalik!
Nah, dengan kenyataan yang ada, Insya Allah justru membuat kita terlindung dari sifat ujub, riya, takabur. Tidakkah ini merupakan keuntungan? Karenanya, sudahlah, lebih baik kita rida saja. Terimalah dengan lapang dada, penuh kegembiraan, serta baik sangka terhadap apa pun ketentuan Allah azza wa jalla.
Hidup ini terlalu singkat untuk merasa kecewa, sedih, murung, atau perilaku yang tidak bermanfaat lainnya. Lebih baik kita syukuri tubuh ini dengan dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kepentingan bekal kepulangan kita ke akhirat kelak yang pasti akan datang atau bisa saja segera tiba.
Terbukti ternyata banyak riwayat yang menggambarkan orang-orang yang ditakdirkan serba kekurangan pada tubuhnya, namun kemuliaannya diangkat jauh lebih tinggi daripada orang-orang yang normal dan sempurna atau bahkan orang yang diberi kelebihan secara fisik. Kita dapat mengambil hikmah dari kisah tentang Siti Hajar, isti Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Kisah yang acap kali dianggap sebagai perlambang kesempurnaan tawakal.
Bayangkan, seorang perempuan dengan bayi yang masih merah, ditinggalkan di tempat yang sepi, tandus, kering, dan gersang. Akan tetapi, dia tidak gentar ataupun mengeluh berkat keyakinannya yang sempurna bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakannya. Maka lihatlah buah dari segala amalnya itu.
Selama beribu-ribu tahun hingga saat ini disaksikan perjuangannya menjadi ladang amal dan ladang ibadah bagi umat Muhammad saw. Contoh lainnya adalah Syaikh Ahmad Yasin. Ia adalah orang yang ditakdirkan Allah mengalami kelumpuhan total sekujur tubuhnya. Hanya kepala dan lehernya saja yang dapat digerak-gerakkan. Akan tetapi, ternyata ia menjadi sosok yang sangat disegani kawan maupun lawan berkat perjuangan dan keberaniannya yang luar biasa dalam mengorbankan semangat perjuangan intifadhah rakyat Palestina.
Kita semua tahu, gaung perjuangan jihad rakyat Palestina ini telah menggegerkan dunia, sehingga membuat miris kaum kuffar dan menjadikan zionis Israel kehilangan muka, sementara nama Palestina sendiri terangkat harum ke seantero jagat. Maka tetap bersyukurlah dan berbaik sangka pada segala pemberian Allah SWT pada hidup kita. (KH. Abdullah Gymnastiar)