Sampah versus Sedekah
Eksistensi sampah tidak bisa dipandang sebelah mata. Telah banyak kasus tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) yang bermasalah dan meresahkan masyarakat merupakan bukti pengelolaan sampah di negeri seribu satu pulau ini belum terlaksana dengan baik.
Pada sisi lain, budaya membuang sampah pada tempatnya belum mengakar dan memasyarakat. Bagaimana Rasulullah memandang masalah ini?
Keberadaan sampah dalam konsep kebersihan merupakan bagian tak terpisahkan. Sampah meminjam ungkapan Wahyu Widayat merupakan buangan yang padat berbentuk gas, cair, dan padat yang berasal dari aktivitas manusia atau binatang yang tidak dapat dipakai ulang untuk maksud atau aktivitas yang sama tanpa melalui pengelolahan.
Islam merupakan agama yang memperhatikan kebersihan. Konteks ini dapat kita temui dalam Al-Baqarah ayat 222, “…Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” Seiring dengan itu, hadis riwayat Ahmad, Muslim, dan Tirmuzy, dari Abi Malik Al-Asy’ary menjelaskan,”Kebersihan itu sebagian dari iman.”
Beranjak dari ayat dan hadis di atas, kita pahami bahwa Islam merupakan agama yang memperhatikan pentingnya kebersihan. Maka, menurut Dr. Huzaemah T. Yanggo (2002), para ulama menilai, menjaga kebersihan merupakan bagian penting sehingga bab kebersihan diletakkan sebagai bab khusus dalam buku-buku fiqih. Bahkan, kerap dibahas pada bab-bab awal Thaharah. Dengan demikian, kebersihan merupakan cermin dari ritual keislaman.
Dalam kajian kebersihan khususnya sampah, kita mengenal tiga konsep. Konsep pertama, tahan buang sampah sembarangan. Munculnya kasus Bojong dan Bantargebang merupakan indikasi masyarakat kita belum terbiasa menahan dan masih senang buang sampah sembarangan.
Padahal menurut pengamatan Wahyu, aktivitas manusia menghasilkan sampah sekitar 2-3 liter/hari. Maka, bisa dibayangkan jika kota yang berpenduduk 3 juta orang berarti satu hari bisa menghasilkan sampah 6-9 juta liter atau 6.000-9.000 m3. Dengan demikian, jumlah sampah dalam satu bulan bisa mencapai 180.000-270.000 m3. Volume sampah tersebut menurutnya bisa menimbun areal seluas 1 ha dengan ketebalan 18-27 m3.
Berpijak dari data di atas, menahan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan merupakan sikap bijak. Seirama dengan itu, yang perlu ditingkatkan dalam tataran muamalah yakni, membeli barang atau makanan yang tidak melahirkan berbagai sampah, baik organik maupun non-organik.
Konsep kedua, simpan sampah pada tempatnya. Jika kita kecandung membeli barang atau makanan yang mensisakan sampah, sebaiknya bekas sampah itu tidak dibuang sembarangan. Di beberapa negara, membuang sampah sembarangan akan mendapat denda yang bisa merogo isi kocek. Itulah sebabnya, sepanjang jalan utama di negara-negara tersebut tampak bersih dan rapi.
Bagaimana dengan kita? Islam mengajarkan pentingnya kebersihan. Oleh karena itu, menyimpan sampah pada tempatnya bukan karena takut karena sanksi, seharusnya kita lakukan ini karena paham bahwa kebersihan bagian dari pada iman.
Konsep ketiga, pungut sampah insya Allah sedekah. Sedekah merupakan perbuatan yang disukai Allah swt. Bermuara dari asumsi ini, diksi sedekah dalam Quran kerap kita temukan. Makna sedekah sendiri memiliki nilai agung. Maksudnya, siapapun yang melakukan sedekah dengan niat karena Allah, maka Allah akan melipatgandakan perbuatan itu yang langsung dirasakan oleh pribadi yang bersangkutan.
Atas dasar itu, sedekah merupakan sikap kedermawanan. Arti kedermawanan ini, bukan sekedar ditunjukkan oleh nilai mata uang. Tenaga, pikiran, tolong menolong dan sebagainya bisa tergolong perbuatan sedekah. Itulah sebabnya, kisah seorang pelacur yang menolong seekor anjing karena kehausan tergolong perbuatan sedekah, sehingga yang bersangkutan diampuni segala dosa-dosanya dan masuk surga.
Memungut sampah dengan niat ikhlas karena Allah, dapat dikategorikan dalam amalan sedekah. Maka, tak perlu ragu jika kita menemukan sampah, membersihkan, dan memungutnya akan membuat tensi pahala kita naik. Sebab, tak ada perbuatan yang kita lakukan terlepas dari Maha Melihat Allah. Karenanya, jika ada peluang meraih pahala kenapa kita biarkan berlalu?
Allah berfirman,”Barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az-zalzalah: 7-8)
Memungut sampah adalah kebaikan. Karena itu, niat memungut sampah karena rindu kasih sayang Allah mudah-mudahan merupakan bagian dari marifatullah hamba dan Khaliknya.
Akhir kata, jika ketiga konsep di atas, mendapat apresiasi yang optimal dari masyarakat, kita yakin kasus Bojong dan Bantargebang tidak terjadi lagi di negeri ini, sehingga kasus yang memilukan itu tidak terulang. Semoga. (Abu Furkon Al-Farisi Rahman)