Renungan Kasih Ibu
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh, lewati rintangan demi aku anakmu // Ibuku sayang masih terus berjalan, walau telapak kaki penuh darah penuh nanah // Seperti udara kasih yang engkau berikan, tak mampu ku membalas // Ibu… (Iwan Fals)
Lirik ini mengingatkan kita akan pengorbanan dan tulusnya kasih sayang seorang ibu. Segala keluh berusaha ditempuh, segala rintangan berusaha dihadang, dan segala penderitaan berusaha didera bahkan kaki berdarah sampai bernanah pun tak dirasa. Kasih sayang yang ibu hembuskan seperti udara yang senantiasa mengalir, seiring dengan mengalirnya hembusan napas sang anak. Semua ibu lakukan tanpa mengharapkan balas jasa.
Sosok ibu adalah sosok muslimah sejati. Sosok yang senantiasa mengedepankan hati nurani. Lembutnya belaian, hangatnya dekapan menjadi ciri khas yang melekat. Berkorban tanpa kenal lelah menjadi ciri selanjutnya. Mulai dalam kandungan peran ibu sudah terlakoni mengandung, melahirkan, sampai membesarkan anaknya hingga tercapai sebuah harapan. Harapan memiliki anak berakhlak baik.
Lelah Mengandung, Melahirkan, dan Mengasuh
Saat mengandung segala sakit berusaha dikikis. Bawaan janin berusaha ditepis. Segala upaya dijalani agar janin tetap sehat. Perbekalan spiritual pun mulai ditanamkan. Lantunan tilawah berusaha dibisikan dengan harapan janin mendapat perbekalan agama kelak. Berusaha mengatur, menjaga makanan dan makanan yang terbaiklah yang disuguhkan. Makanan kesukaan yang biasa dimakan yang sekiranya dapat membahayakan janin berusaha dihindari. Pekerjaan rutinitas berusaha dikurangi.
Pengorbanan ibu tidak sampai di situ. Bila telah masanya melahirkan, ibu berusaha menyiapkan berbagai sarana menyambut kelahiran bayi. Rasa sakit pada saat melahirkan sirna tatkala melihat buah hatinya lahir dengan selamat. Berawal dari kecintaan yang tulus, ibu berusaha merawatnya dengan hati-hati menyusui, memandikan, menjaga kesehatan hingga kebutuhan ibu tersita. Namun ibu tak pernah mengeluh, tak pernah keberatan karena semua dilakukan atas dasar cinta.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, dan masa kanak pun berganti remaja. Perhatian ibu semakin ketat. Kekhawatiran semakin mengebu. Khawatir anaknya terjebak oleh pergaulan yang salah. Dan, ibu harus memberikan perhatian yang khusus, keterbukaan menjadi bumbu kehangatan.
Kini, remaja beranjak dewasa. Namun kasih sayang ibu terus bertambah dan kekhawatiran pun tak pernah reda. Ibu ikut memikirkan tentang fase kehidupan selanjutnya yaitu perjodohan. Ibu berusaha memilih orang-orang pilihan, orang yang benar-benar bisa melindungi anaknya. Kekhawatiran seorang ibu akan berkurang tak kala melihat keharmonisan keluarga anaknya.
Ummu Rabi’ah, Ibu Teladan
Keteladaan seorang ibu dapat kita peroleh pada zaman Rasulullah. Keteladanan Ummu Rabi’ah, misalnya. Ummu Rabi’ah adalah sosok ibu yang dengan penuh cinta berhasil membesarkan anaknya Rabi’ah Ar-Ra’yi hingga menjadi ulama. Sejak di dalam kandungan, Rabi’ah sama sekali belum merasakan kasih sayang dari seorang ayah yang bernama Faruk. Karena pada waktu itu ayahnya, Faruk mendapat panggilan dari Rasulullah untuk berjihad. Harta kekayaan yang dia tinggalkan tidak lebih dari 30 ribu dirham. Dengan perbekalan sebesar itu Ummu Rabi’ah berusaha merawat, membesarkan anaknya dengan penuh cinta Kasih sayang dan pembekalan pendidikan dia berikan sedari di dalam rahim.
Selama 30 tahun ummu Rabi’ah berusaha memenuhi keperluan anaknya sendiri. Sungguh, sang ibu telah bersusah payah mendidik anak. Dia membiarkan dirinya tidak menikmati harta peninggalan suami. Dia gunakan hartanya untuk mencapai hasil tak tertandingi oleh kekayaan yang ada di dunia, yaitu harapan agar anaknya menjadi anak yang saleh.
Tentunya kita mendambakan sosok seperti Ummu Rabi’ah. Betapa istimewanya sosok ibu. Sebagai balasan dari keistimewaan, Rasulullah memposisikan ibu tiga kali dibanding ayah seperti dalam hadit yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, ia berkata, “Ada seorang laki-laki mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, seraya bertanya,’Wahai Rasulullah, siapa orang paling berhak untuk kupergauli dengan cara yang baik?’”
Beliau menjawab, “Ibumu.”
Dia bertanya, “Kemudian siapa lagi?”
Beliau menjawab, “Ibumu.”
Dia bertanya, “Kemudian siapa lagi?”
Beliau menjawab, “Ibumu.”
Dia bertanya, “Kemudian siapa lagi?”
Beliau menjawab, “Bapakmu.”
Tentu, ibu amanahlah yang mampu memposisikan dirinya sebagai ibu yang pantas mendapatkan keistimewaan.
Saudaraku, bakti apa yang sudah kita persembahkan untuk ibu? Masihkah kesusahan kita bebankan kepundaknya? Dan seandainya kita sudah berusaha melakukannya, setulus apakah pengorbanan dan cinta yang kita berikan? Atau, jangan-jangan kita masih terbuai oleh suatu kewajaran apa yang kita terima dari ibu itu suatu hak yang memang pantas kita terima sehingga lupa kewajiban membalasnya? Naudzubillah.
Tidak ada kata terlambat untuk memulai kebaikan. Mulailah dari sekarang kita berikan hak mereka seperi yang diperintahkan Allah SWT dalam QS. Luqman [31] ayat 14, “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orangtuanya, di mana ibunya telah mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan nyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada kedua orangtuamu.”
Ibu, begitu besar pengorbanan dan begitu tulus kasih sayangmu. Dan seandainya sejagat raya ini menjadi modal untuk membalas kebaikan, kasihmu belum bisa terbalaskan. Bahkan lantunan doa sekali pun belum bisa membalas semuanya. Namun doalah yang bisa kita persembahkan untuk ibu. “Ya Allah, ampunilah kedua orangtuaku yang selalu mendidik aku dengan baik dan meluruskan perilakuku. Ya Allah tinggikanlah derajatnya di surga.” (daaruttauhiid)