Rangkul Generasi Muda, Kenalkan Tauhid kepada-Nya
Generasi muda merupakan generasi penerus bangsa. Kepada mereka lah harapan kejayaan Islam ini bangkit. Kepada mereka lah dakwah Islam sebagai agama yang Rahmatan Lil’alamiin terus menggema hingga ke berbagai belahan dunia. Namun, tidak dapat dipungkiri, banyak generasi muda kini yang begitu ironi. Pergaulan bebas, narkotika, minimnya pendidikan akademik dan agama, membuat mereka terseret ke dalam lingkaran setan, membuat suram masa depan yang akan dijalani.
Akmal Sjafril S.T, M.PDI, atau biasa disapa Uda Akmal, berusaha merangkul para generasi muda dengan dakwahnya yang unik. Ia aktif menyampaikan dakwahya di media sosial, aktif pula membangun komunitas yang anggotanya didominasi oleh anak-anak muda. Di antaranya ialah Komunitas Indonesia Tanpa JIL (Jaringan Islam Liberal) dan Sekolah Pemikiran Islam (SPI).
Postingan-postingan Uda Akmal di media sosial pun ditanggapi beragam oleh generasi muda. Ada yang sependapat, ada juga yang kontra. Namun sebagian besar followers-nya ialah anak muda, dan tidak sedikit di antara mereka yang merasa tercerahkan dengan komentar-komentar atau postingan-postingannya.
Terkait kenakalan remaja yang semakin mengkhawatirkan di masa kini, Uda Akmal pun mengutarakan pendapatnya. “Kalau menurut saya, kita harus break down dulu masalah utamanya. Nah, masalah utamanya generasi sekarang itu berbeda dengan generasi saya dulu. Kalau dulu saya dapat informasi itu dari orangtua, dan dari guru di sekolah. Jadi, sebandel-bandelnya kami, kami tahu yang bener yang mana,” tuturnya.
Sedangkan generasi sekarang, katanya, mereka memiliki dunia maya. Bahkan sesuatu yang paling salah pun, di dunia maya itu ada yang membenarkan. “Masukan yang datang ke mereka itu banyak. Lihat televisi, lain lagi. Lihat selebgram kelakuannya kayak apa. Dulu mah nggak ada yang begitu. Jadi perspektif saya, kita jangan menganggap generasi sekarang berbeda dengan generasi dulu. Yang benar ialah cobaannya yang berbeda. Generasi sekarang cobaannya lebih berat dari yang dulu,” jelasnya.
Pendekatan yang Berbeda
Menurutnya, pendekatan dakwah generasi muda dulu dan sekarang, jelaslah berbeda. Kalau zaman dahulu, orangtua bisa melarang anaknya, ‘Jangan ke sana, jangan lihat itu!’, kini hal itu sulit dilakukan. Zaman telah berubah, teknologi informasi kian canggih. Maka sebagai orangtua, membicarakan sesuatu secara gamblang kepada anak-anak atau generasi muda, penting untuk dilakukan.
“Di sekolah-sekolah kalau saya ngisi kajian, suka ada pesan sponsor, tolong jangan bahas yang berat-berat. Padahal, mereka sudah tahu dunia sebelum kita kasih tahu. kalau kita bohongi mereka, kita tutup-tutupi masalah, mereka akan mencari jawaban di tempat lain,” ungkapnya.
Di zaman waktu Uda Akmal SMA dulu, tak ada kawannya yang mempertimbangkan untuk menjadi seorang atheis. Tapi, anak SMA di masa kini, ada yang mempertimbangkan untuk menjadi atheis. Sama hal nya, dulu, tak ada yang mempertimbangkan menjadi gay, tapi sekarang ada yang seperti itu.
“Kalau dia googling, dia akan ketemu situs yang dibuat oleh orang-orang LGBT. Dia akan ketemu situs yang dibuat orang liberal, orang syiah, situs apa aja ada. Nah, kalau kita tidak sampaikan kepada mereka apa bahayanya secara gamblang, maka mereka akan mencari tahu sendiri. Maka, pendekatan dengan tidak memberitahukan, menutup-nutupi itu tidak bisa, harus digamblangkan saja,” jelasnya.
Ia pun member contoh, saat ia diminta mengisi kajian tentang cinta untuk remaja SMP dan SMA di sebuah sekolah. Ia sampaikan kepada para siswi (akhwat), bahwa para ikhwan memiliki ujian yang berat. Mereka mempunyai kecenderungan untuk agresif, dan perempuan adalah cobaan berat bagi laki-laki.
Hal yang menjadi masalah menurutnya, perempuan berpikir bahwa laki-laki berpikir sama dengan dirinya. Padahal, laki-laki punya pikiran dua sampai tiga langkah ke depan. “Makanya berpacaran itu tidak baik. Ketika berdua-duaan di tempat terang, pikiran laki-laki sudah berdua-duaan di tempat gelap. Kalau sudah pegang tangan, laki-laki pikirannya sudah pegang yang lain. Mengapa? karena ya itu tadi, pikiran laki-laki sudah dua sampai tiga langkah ke depan, itu pasti!” paparnya.
Setelah ia jelaskan secara gamblang kepada mereka, barulah pernyataan itu nyambung, dan diterima oleh logika generasi milenial itu. Bahkan, beberapa waktu kemudian, Pembina di sekolah tersebut kembali mengabari dirinya, kajian beberapa waktu lalu sukses. “Saya tanya, tahu sukses dari mana? dia jawab, binaan saya empat orang putus sama pacarnya,” katanya, sambil tersenyum.
Jadi menurutnya, generasi milenial ini bukan tak percaya dalil yang menyebutkan jangan mendekati zina. Tapi, mereka butuh penjelasan realisasinya. Begitu pun ketika membahas bahaya LGBT. Sampaikan kepada mereka, LGBT itu melanggar fitrah, dan sesuatu yang melanggar fitrah, hanya akan memberikan penderitaan.
Edukasi Bahaya LGBT
Di Amerika, kaum LGBT tidak sampai 10% dari populasi laki-laki. Di Indonesia, kemungkinan besar kurang dari 10%. Tapi, sekali tertangkap razia, sekitar 140 orang yang menggelar pesta seks LGBT.
Banyak pembelaan bagi kaum LGBT. Ada yang bilang, biar saja itu kan dosa mereka, yang penting kita tidak dirugikan. Jelas itu salah kaprah. Tapi, cara kita mengedukasi generasi milenial ini, harus juga menggunakan strategi. Sampaikan secara gamblang, tetapi tidak kasar.
“Kalau kita langsung bahas neraka, mereka akan menganggap aktivis Islam terlalu nge-judge. Pada dasarnya dakwah nggak harus selalu bahas neraka. Saya kalau bahas LGBT, bahasnya tentang fitrah. Laki-laki dipaksa jadi perempuan,walau mereka bilang mereka bahagia, itu sesungguhnya penderitaan. kalau mau punya anak gimana? oh bisa itu pakai ibu pengganti. Benihnya dimasukin ke rahim perempuan. Lah, itu kan sama aja memindahkan kezaliman. Jadi, kezaliman ini nggak akan berakhir sampai mereka normal,” tegasnya.
Menurutnya, orang-orang yang menyampaikan ‘Biarin aja, dosa-dosa mereka’, berarti orang tersebut adalah orang yang kejam. Sebagai manusia, seharusnya kita tidak tega melihat manusia lain terus-terusan melakukan penyimpangan, melawan kodrat, berbuat dosa.
Mereka yang seringkali berkomentar seolah tak peduli pada kezaliman orang-orang LGBT, diperkirakan mereka belum merasakan menjadi orangtua. Mengapa? karena bila mereka sudah menjadi orangtua, tentu tak akan rida anaknya menjadi pelaku LGBT, kemudian menderita penyakit HIV, mati mengenaskan.
“Betapa mengerikannya operasi kelamin itu. Setelah kelaminnya (mohon maaf), dipotong. Dia akan berbulan-bulan menjalani terapi. Fisiknya sakit. Mereka kira itu kebebasan, padahal itu penderitaan, karena tidak sesuai dengan fitrah,” katanya.
Uda Akmal kemudian menyampaikan, di Amerika kini ada masalah yang cukup konyol, tapi itu jadi masalah. Sumbernya, ya LGBT itu. “Nggak usah mati dulu deh, ke toilet aja, mereka memperumit diri mereka sendiri. Ke toilet perempuan, yang perempuan nggak mau ada mereka, karena dianggap laki-laki. Ke toilet laki-laki, yang laki-laki juga serem,” ungkapnya.
Ia pun sempat diskusi dengan rekannya yang seorang dokter spesialis kulit dan kelamin. Mereka yang mengidap LGBT itu, sedang ngoborol saja, kotoran (BAB) bisa tiba-tiba keluar. “Udah nggak terkontrol lagi, udah rusak sarafnya. Setiap bulan harus disuntik anti penyakit apa, suntik ambeyen, dan lain-lain, karena memang tempatnya bukan di situ. Harus ditekankan bahwa mereka ini memicu penderitaannya sendiri,” jelasnya.
Peran Orangtua untuk Generasi Muda
Mengenai hal ini, ia menyampaikan bukanlah pakar parenting, karena anak kandungnya pun baru berusia enam tahun. Namun, ia menyampaikan, kedekatan antara orangtua dengan anak harus terbangun sejak dini. Khususnya bagi anak laki-laki, ia akan belajar menjadi laki-laki itu dari ayahnya. Melihat ayahnya, dan berinteraksi dengan ayahnya.
“Kalau dia tidak dekat dengan ayahnya, dia tidak punya panutan jadi laki-laki itu bagaimana.
Afnan ini sejak umur tiga tahun sudah saya ajak salat Jumat. kalau salat lima waktu masih malas dia, dan memang kita tidak bisa memaksa anak umur segitu salat waktu lima waktu. kalau memaksa itu kan pas dia usia tujuh tahun,” katanya.
Anaknya itu suka sekali dengan salat Jumat. “Saya tanya kan, kenapa Afnan suka salat Jumat? dia jawab, Afnan kan laki-laki. Jadi pas salat Jumat itu dia melihat semuanya laki-laki. Nah, kalau ayahnya nggak punya waktu nganter dia salat Jumat, dia nggak tahu,” katanya.
Menurutya, kunci utama pendidikan orangtua ke anaknya ialah kedekatan. Orangtua tak perlu pintar di berbagai bidang mata pelajaran, karena hal itu bisa diajarkan guru di sekolah. Tapi, kedekatan, keteladanan, itulah yang perlu dibangun antara orangtua dan anak. Jika pun suatu saat ia melakukan kesalahan, ia berani terbuka berbicara, dan menerima sepenuh hati nasihat orangtuanya. Katanya, mendidik dengan kedekatan, dengan kasih sayang, jauh lebih masuk ke anak, dibanding dengan peraturan-peraturan yang diberlakukan secara kaku dan formal.
Selanjutnya, perlakukan anak sesuai dengan usianya. Bila anak sudah baligh, jangan perlakukan ia sebagai anak-anak, tapi persepsikan ia sudah dewasa. “Menjaga mereka untuk tetap steril pun tak mungin, karena anak-anak yang di pelosok pun banyak yang tahu tentang hal-hal yang ngeri-ngeri. Maka, sekarang ini yang penting sekali dibangun antara orangtua dan anak, guru dan murid, ialah membangun kedekatan,” tegasnya.
Terakhir, Uda Akmal juga mengingatkan, menjaga anak tetap steril, tak tahu menahu tentang dunia, itu juga tak baik. Mengapa banyak yang dulunya tinggal di pesantren, lalu kemudian ke kota, ke luar negeri dan jadi liberal? itu karena dia baru tahu dunia, dan dulunya steril. Jadi, beri anak-anak pemahaman aneka ragam bahaya-bahaya yang mengintai di dunia. Beri mereka pemahaman betapa pentingnya tauhid kepada Allah. Beri mereka keteladanan menjadi muslim yang baik. Beri mereka kedekatan, dan keberanian untuk berdiskusi. Insya Allah generasi muda ini tak belok arah ke jalan yang Allah murkai. Wallahualam bissawab.
(Oleh : Cristi Az-Zahra)