(Edisi Idul Adha) Qurban, Tauhiid dan Sosial
Ibadah qurban merupakan upaya menghidupkan sunnah para Nabi Allah Ta’ala, dengan menyembelih hewan qurban dari pemberian-Nya kepada manusia sebagai ungkapan rasa syukur. Kemurnian ketaatan dengan mengerjakan seluruh perintah-Nya adalah bukti syukur tertinggi. “Maka, dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berqurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2)
Jumhur ulama menyebutkan ibadah qurban hukumnya adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), dimana ibadah qurban mengandung dua unsur.
Pertama, adalah unsur spiritual-transendental sebagai konskuensi dari ketaatan seorang hamba kepada Allah. Sehingga melakukan qurban pada saat Idul Adha sebagai upaya taqarrub kita kepada Allah Ta’ala. Sifat demikian mempunyai dampak positif horisontal yakni terpenuhinya kesejahteraan sosial.
Kedua, adalah sosial humanis yang nampak dalam pola pendistribusian hewan qurban yang secara khusus diperuntukkan bagi mereka yang berhak (mustahiq). Namun ini akan bernilai manakala disertai dengan refleksi ketakwaan kepada Allah. Artinya melalui ibadah qurban seseorang tidak hanya sekedar bersedekah kepada sesama manusia tetapi juga niat karena Allah Ta’ala.
Proses pembagian atau pendistribusian daging kepada yang berhak yakni fakir miskin mengandung makna dan nilai upaya pengentasan mereka ke dalam taraf hidup yang lebih baik, dan wujud konkret kepedulian kepada para fakir miskin sebagai solidaritas sosial. Oleh karena itu pemaknaan ibadah qurban kiranya menjadi sangat perlu dikontekstualisasikan dalam rangka mencapai tujuan pensyariatan Islam (maqashidus syari’ah) yakni tercapainya kemaslahatan dunia akhirat.
وَالْبُدْنَ جَعَلْنٰهَا لَكُمْ مِّنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهَا صَوَاۤفَّۚ فَاِذَا وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّۗ كَذٰلِكَ سَخَّرْنٰهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Dan unta-unta itu Kami jadikan untuk-mu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makanlah orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Hajj: 36)
Semua itu dilakukan demi mendidik kita agar memiliki jiwa-jiwa pengorbanan untuk kemaslahatan sosial atau masyarakat secara luas. Semoga semangat qurban senantiasa menumbuhkan semangat jiwa sosial dalam diri kita masing-masing. Orang Islam yang mampu tapi enggan mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, dianggap sebagai pendusta agama.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi wasallam,
مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
“Barangsiapa yang mendapati keluasan rizki tapi tidak berqurban maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 8273, Ad-Daruquthni dalam Sunannya no. 4762 dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 7565).
(Shabirin/Wahid)