Problematika Menjauhnya Umat dari Hidayah Al-Quran
Di dunia ini, ada puluhan bahkan ratusan ribu para penghafal al-Quran di luar kepala, alhamdulillah. Selain itu, ada ratusan juta manusia yang menyimak atau membacanya di pagi dan petang hari, dan ada jutaan orang lainnya yang menghiasi dinding rumahnya dengan ayat-ayat al-Quran, kita pun patut bersyukur. Namun, tak jarang sebagian kaum muslimin sekadar mencari berkah dengan membawa atau mengantongi mushaf di saku bajunya atau meletakkannya di kendaraan. Ada pula yang meletakkan satu ayat di bungkusan kain dan meletakkannya di dada atau menjadikannya sebagai obat penawar bagi orang-orang sakit, dan di antara mereka membuka layanan pengobatan dengan metode penyembuhan al-Quran.
Kita juga melihat orang-orang muslim mengawali siaran radio atau tv mereka dengan tilawah Quran dan mengakhirinya dengan cara sama. Bahkan ada radio siaran khusus al-Quran 24 jam nonstop. Keindahan lantunan suara, tulisan grafis, pidato dan hafalan serta tafsir Quran juga diperlombakan, baik di tingkat nasional maupun ajang internasional, sehingga menjadi hajatan bergengsi dan menelan dana serta sumber daya yang cukup besar.
Di tengah masyarakat, salah satu indikator kesalehan seorang muslim adalah rajin membaca (tilawah) al-Quran. Surah dan ayat tertentu dari Quran sering bergema dalam berbagai acara ‘hajatan’ baik itu walimatul ‘urs, akikah anak yang baru dilahirkan, maulidan, berbagai peringatan hari besar Islam, bahkan hingga saat takziah dan ziarah kubur orangtua dan sanak kerabat. Tilawah Quran, diiringi kesyahduan dan suara merdu dalam berbagai momen itu tentu saja baik dan membawa ‘keberkahan’. Tak ada yang salah dengan itu semua.
Namun di sisi lain kita saksikan dan rasakan sendiri betapa hak-hak al-Quran diabaikan sedemikian rupa. Mayoritas kaum muslimin tidak—setidaknya hingga saat ini—menjadikan al-Quran sebagai penuntun pertama bagi akal mereka. Tidak pula diletakkan sebagai pengarah pertama di dalam hati mereka, apalagi sebagai penggerak pertama bagi perilaku dan faktor pengubah yang utama bagi jiwa-jiwa mereka.
Sejak era sahabat Nabi radliyallahu ‘anhum, jamaah muslimin sudah sadar bahwa berkah al-Quran diraih bukan dengan cara membawa atau mengalungkannya. Tidak pula dengan menghiasi dinding rumah mereka dengan ayat-ayatnya. Tidak pula dengan pengobatan pasien lewat metode penyembuhan Quran atau ditulis di piring yang kemudian terhapus dan airnya diminum. Begitupula keanehan-keanehan lainnya yang tak pernah ditemukan dalam sejarah dan kehidupan para sahabat Nabi. Tapi keberkahan al-Quran muncul dan mewujud di tengah-tengah mereka dengan cara mengikuti dan mengamalkan isi Quran. Inilah yang disebutkan dalam firman Allah ta’ala surah al-An’am [6] ayat 155, “Dan al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” Itulah fakta dan realitas sosial di tengah umat kita yang masih awam terhadap substansi ajaran Islam.
Di level kaum cendekiawan dan intelektual Islam jebolan institusi pendidikan tinggi Islam di tanah air, fenomenanya juga tak kalah menyedihkan. Al-Quran di mata mereka dilucuti dari kesucian dan otentisitasnya. Selain itu mereka juga—sadar atau tak sadar karena diprovokasi kaum orientalis dan kekuatan-kekuatan hegemoni sekuler dunia—melucuti Quran dari hukum-hukumnya yang absolut, abadi dan universal yang telah membawa kemaslahatan dan rahmat bagi semesta alam. Mereka pun lantas memperkenalkan model interaksi dengan al-Quran yang berjalan satu paket dengan isu pembaharuan Islam dalam kerangka ‘pembacaan al-Quran kontemporer’.
Fenomena keranjingan kaum cendekiawan liberal atas pembacaan kontemporer hanya muncul untuk menundukkan Quran kepada pembacaan modern yang memisahkan al-Quran dari sejarahnya, dan memutuskan hubungan isinya dari apa yang dimaksudkan pengujarnya yaitu Allah SWT. Target pembacaan kontemporer Quran ini jika ditelisik lebih dalam adalah mengosongkan al-Quran dari kandungan akidah, syariah dan akhlak, untuk kemudian diisi ulang oleh paham-paham dan pemikiran sekuler.
Pembacaan kontemporer al-Quran tak lain adalah sebuah usaha sistematis untuk mendekonstruksi bangunan Islam sehingga kaum muslimin menjauh dari norma-norma dan hukum-hukumnya. Lalu kemudian mengikuti arus peradaban sekuler ala Barat, sebagai bagian tak terpisahkan dari strategi menghancurkan ancaman Islam yang datang dari Timur.
Cukup aneh memang, selain untuk al-Quran–kitab suci umat muslim—manakah lagi buku-buku sejarah, pemikiran dan sastra klasik yang telah ditundukkan dan masuk ke dalam mesin cuci bernama ‘kajian/pembacaan kontemporer’ seperti yang dipaksakan kepada al-Quran?
Ciri-ciri umum para cendekiawan liberal dalam studi al-Quran adalah:
• Umumnya mereka bukanlah ilmuwan atau pakar spesialis dalam ilmu-ilmu syar’i, melainkan keahlian mereka adalah kajian filsafat, sastra atau pemikiran Islam.
• Umumnya mereka ini adalah kaum elit cendekiawan yang selalu menolak warisan budaya umat Islam.
• Mereka umumnya cenderung sekuler dan menjadikan sekularisme sebagai ideologi kehidupan. Sehingga wajar mereka memiliki metode yang khas dalam membaca al-Quran yang berdiri di atas pondasi hermeneutik, kritis-historis dan relativisme. Mereka hanya tergiur oleh fashionable thinking dan model kritis historis seperti halnya kaum liberal Kristen.
Di tangan mereka inilah, terjadi perubahan struktur dan perombakan besar-besaran dalam konsep-konsep dasar ideologi Islam, setidaknya dalam 3 bidang berikut ini:
Pertama, konsep tentang wahyu atau nash Quran; diperlakukan sewenang-wenang seperti fenomena alam biasa, teks sebagai turunan dari realitas, petunjuknya relatif dan multi makna, sumbernya pun relatif dengan serangkaian upaya rekonstruksi sejarah al-Quran dan proyek mushaf edisi kritis, ada kesalahan-kesalahan tata bahasa, penulisan dan gramatikanya sehingga wajib dikritisi dan desakralisasi agar bisa masuk konsep-konsep sekuler. Diharapkan setelah merekonstruksi sejarah al-Quran dan membuat mushaf edisi kritis—seperti target kaum orientalis—maka dibuatlah tafsir kritis terhadap Quran yang telah direvisi sebagai kesinambungan kerja yang dipraktekkan kaum liberal.
Kedua, konsep agama Islam pun telah berubah; terbatas pada konteks ilmu dan budaya abad pertengahan, tergerus akibat globalisasi, Islam normatif-ideal hilang dan hanya tersisa Islam historis, nilai-nilai Islam tak lagi absolut, dan suatu kesalahan jika menganggapnya universal karena Islam hanya diperuntukkan bagi manusia abad ke-7 masehi.
Ketiga, dan terakhir, tak lain akan berujung kepada munculnya prototipe muslim dan keberagamaan Islam yang baru. Yaitu Islam minus syariah, Islam tanpa siyasah, Islam tanpa muamalat, Islam tanpa ruh, Islam tanpa busana, Islam tanpa pendidikan dan jihad, alias Islam minimalis yang cukup sekadar kerjakan salat, dan kalau bisa pun si muslim dijauhkan dari salat dan terasing dari konsep-konsep Islam sebagai agama dan peradaban. (KH. Saiful Islam Mubarok, Lc)