Perubahan Diri Setelah Menikah
Banyak hal yang menjadikan seseorang berniat melangsungkan sebuah pernikahan, lazimnya adalah agar menjadi sebuah rumah tangga yang didambakan, penuh sakinah, mawaddah dan rahmah. Namun untuk membentuk sebuah keluarga yang Islami ini, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Artinya, harus ada usaha maksimal dari masing-masing pasangan atau anggota keluarga. Sehingga semestinya setiap diri, ketika menjelang menikah, perlu mempersiapkan diri dengan segala perubahan yang akan terjadi setelah menikah kelak. Dimulai setelah akad nikah diucapkan, maka dia tentu mengalami perubahan status, tadinya lajang, berubah menjadi seorang suami. Tadinya gadis, kini menjadi seorang istri. Dan perubahan status ini tidak hanya dalam hal ini saja, diiringi pula dengan perubahan status lainnya, seperti memiliki mertua, yang harus diperlakukan sama sebagai orang tuanya. Dan bagi para orang tua, pernikahan pun berdampak perubahan status, memiliki menantu dan besan.
Lalu, dengan adanya perubahan status, konsekuensinya adalah perubahan tanggung jawab. Setelah menikah seorang laki-laki tentu memiliki tanggung jawab terhadap istrinya, begitupun sebaliknya. Belum lagi, misalnya ketika Allah SWT mentakdirkan pasangan tersebut dikaruniai anak, maka perubahan status ini berkembang menjadi seorang bapak dan seorang ibu. Seiring dengan hal itu, ada pula perubahan tanggung jawab sebagai orang tua terhadap anaknya dengan mendidik atau men-tarbiyah putra-putrinya sesuai dengan nilai-nilai Islam. Namun tentu saja perubahan status yang terjadi setelah akad nikah diikrarkan tidaklah menjadikan seseorang melepaskan diri dari tanggung jawab sebelum nikah. Artinya sebelum menikah, setiap kita pasti mempunyai tanggung jawab sebagai seorang hamba yang wajib beribadah kepada Allah SWT, lalu tanggungjawab kepada orangtua, lalu sebagai saudara bagi saudara-saudaranya, dan sebagai anggota masyarakat. Jelas seklai bahwa ketika dia belum dan setelah melangsungkan pernikahan, tanggung jawab itu tetap ada. Sehingga jika kita cermati, ternyata status dan tanggung jawab seseorang yang telah menikah jauh lebih besar dibandingkan dengan seseorang yang belum menikah.
Hal ini harus kita pahami bersama, karena ternyata banyak kalangan masyarakat muslim yang beranggapan bahwa setelah menikah, dengan adanya perubahan status dan tanggung jawab, maka dia melepaskan status dan tanggung jawab sebelumnya. Misalnya ketika masih lajang atau gadis, ibadahnya kepada Allah sangat tinggi atau kuat, tetapi setelah menikah, baik kualitas dan intensitas ibadahnya, termasuk keimanannya jadi menurun. Padahal, Rasulullah SAW mengungkapkan bahwa bila seseorang menikah, berarti ia melaksanakan setengah dien (agama). Artinya jika kita menghitung secara matematis, seorang istri ketika menikah membawa setengah dien, begitu juga suaminya, maka ketika sudah menikah, otomatis dalam keluarga tersebut, pada pasangan tersebut harus terwujud satu dien yang sempurna. Sehingga sepasang suami istri ini diharapkan memiliki ketaatan yang jauh lebih besar dibandingkan ketika dia belum menikah, dan hal itu adalah salah satu bentuk tanggung jawabnya kepada Allah.
Kita juga kerap melihat banyak pasangan yang setelah menikah jadi mengabaikan orangtuanya. Ada yang beranggapan bahwa setelah anak perempuan menikah, ia lepas dari orangtua dan sepenuhnya menjadi milik suaminya. Padahal, walaupun seorang istri harus ihtirom (menghormati) atau taat kepada suami tapi tidak berarti menghilangkan status dan tanggung jawabnya sebagai seorang anak kepada orang tuanya. Atau dalam hal lainnya, misalnya hubungan dengan saudaranya atau sebagai anggota masyarakat, banyak orang yang setelah menikah cenderung jadi menutup diri. Hal ini adalah harus diluruskan, karena perubahan yang terjadi setelah menikah , tidak menjadikan seseorang jauh dari agama dan melepaskan tanggungjawabnya sebelum menikah, tetapi justru setelah menikah tanggungjawabnya menjadi kian bertambah.
Namun tentu, hal ini bukan untuk menakut-nakuti seseorang yang belum menikah, tetapi untuk mengingatkan agar lebih mempersiapkan diri, memahami status dan tanggung jawab kelak ketika kita menikah. Insya Allah, jika kita mempersiapkannya, baik dari sisi ruhiyah, meningkatkan keimanan kepada Allah SWT, lalu dari sisi fikriyah, keilmuan tentang pernikahan, atau dari sisi jasadiyah, agar penunaian itu maksimal, karena untuk tetap berperan dengan status dan tanggungjawab yang bertambah kita membutuhkan kondisi fisik yang prima, yakinlah kita pasti mampu menjadikan dien kita utuh, mampu menjalani kehidupan kita dengan memberikan yang terbaik kepada keluarga dan masyarakat, seperti dicontohkan Rasulullah SAW beserta anggota keluarganya, yang senantiasa berdakwah kepada masyarakat Quraisy ketika di Mekkah dan Madinah.
Lalu, persiapan maliyah (harta), yang juga sangat penting dalam upaya menunaikan tanggung jawab sebagai suami yang memberikan nafkah, baik kepada istri, atau sebagai hamba Allah, karena untuk beribadah ternyata membutuhkan harta, untuk berinfaq shodaqah, berzakat, misalnya atau bahkan menunaikan ibadah haji. Semuanya membutuhkan harta, sehingga dengan demikian menjadi sebuah keharusan bagi setiap kita untuk mempersiapkan segala sesuatunya sebelum menikah. Mudah-mudahan denagn begitu, kita menjadi lebih siap dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi setelah menikah kelak, baik perubahan status, atau pun perubahan tanggung jawab, Insya Allah. (Ummu Sumayyah)