Perjalanan yang Mencerdaskan
Perjalanan adalah sebuah keniscayaan bagi manusia. Siapa yang ingin di lapangkan rezekinya, diluaskan ilmu dan wawasannya, diperbanyak saudaranya, dilapangkan hatinya, dan dimudahkan jalannya menuju surga, lakukanlah perjalanan atas nama Allah SWT. Sesuai dengan ayat al-Quran (di antaranya QS [3]:137; [30]:9; [30]:42; [62]:10; [14]:32), Allah SWT memerintahkan manusia untuk melakukan perjalanan sebagai sarana untuk mentafakuri ayat-ayat dan kekuasaan-Nya.
Agar sebuah perjalanan mendatangkan banyak manfaat, kita wajib mengatur ritmenya dengan baik, dan diniatkan untuk ibadah. Perjalanan wisata misalnya, ia akan mampu memberikan manfaat yang optimal, khususnya berupa pertambahan ilmu dan wawasan, apabila dimaksudkan sebagai perjalanan edukasi.
***
Bagaimana agar perjalanan yang kita lakukan bisa membawa perubahan?
Sebuah perjalanan dikatakan mencerdaskan apabila di dalamnya terdapat aktivitas observasional (pengamatan) pada suatu budaya, gaya hidup, nilai-nilai lokal yang ditemui. Allah SWT menciptakan fitrah pada manusia, fitrah untuk berkomunikasi dan saling memotivasi. Itulah mengapa, orang-orang di suatu daerah pasti akan tertarik untuk menceritakan kekhasan daerahnya kepada para pendatang. Hal semacam ini pada akhirnya melahirkan proses komunikasi dua arah, ada timbal balik, ada transfer informasi dan pengetahuan, sehingga satu pihak menjadi tahu keadaan yang belum diketahui sebelumnya, keduanya akan semakin kuat memorinya tentang daerah yang diceritakan.
Melalui perjalanan semacam itu, database informasi di otak kita pun akan bertambah kaya. Itu artinya wawasan dan ilmu yang kita miliki menjadi bertambah. Semakin sering melakukan perjalanan, wawasan dan keilmuan kita pun insya Allah akan semakin bertambah.
Jangan lupa pula, ketika kita melakukan proses perjalanan, di sana ada proses adaptasi dan pengenalan terhadap suhu, makanan, dan hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui. Hal ini seakan menjadi sebuah vaksinasi alami bagi sel-sel dalam tubuh untuk dapat menerima kondisi-kondisi yang asing tidak pernah dirasakan atau di luar kebiasaan. Kondisi semacam ini akan menginstall kemampuan adaptif pada seorang manusia. Kemampuan beradaptasi, baik fisik maupun non fisik, pada akhirnya akan mempengaruhi eksistensi seseorang dalam lingkungan dan kehidupannya.
***
Perjalanan pun dapat dijadikan sarana membaca dan mengamati ayat-ayat kauniyah yang telah Allah SWT hamparkan di muka bumi. Bukankah Zat Yang Mahakuasa mengajari hamba-Nya melalui aneka tanda di alam semesta?
Ketika kita menaiki pesawat terbang dan berada di atas awan misalnya, kita bisa belajar dan menafakuri proses terjadinya awan, menafakuri tentang lapisan-lapisan atmosfer yang teramat luar biasa.
Bahkan, kita pun bisa menafakuri tentang sosok-sosok bakteri mungil yang turut membentuk awan, micobacterium sirring namanya, yaitu sejenis bakteri TB yang bisa larut dalam uap air dan bisa terbawa sampai ketinggian 15.000 kaki. Bakteri ini berada di tanah dan akan terbawa menguap saat ia berada dalam genangan air. Pada ketinggian tertentu, ia akan tertiup angin dan turun bersamaan dengan air hujan. Hal yang menakjubkan, tempat di mana ia turun adalah sama dengan tempat naiknya. Inilah kekaffahan miccobactrium sirring yang layak menjadi bahan renungan manusia.
***
Kala berwisata ke taman bunga, taman buah, pegunungan, atau pun hutan rimba, kita dapat mengamati dan merenungi aneka kebesaran Allah SWT dalam hewan, tumbuhan atau pepohonan. Kita dapat merenungkan tentang mengapa buah mangga, kesemek, gohok, belimbing, dan juga apel kesat bahkan pahit dan lengket ketika masih mengkal? Sayang anak jawabnya!
Bagaimana maksudnya? Tujuan pohon dikotil berbuah adalah berketurunan. Maka, “buah” hakikatnya adalah tanda cinta yang harus dijaga sehingga tumbuh menjadi sosok yang sempurna dan berdaya guna. Ia pun dimatangkan secara terencana, seperti juga tumbuhnya pohon harus seirama dengan rima dunia. Ketika tanah subur bertasbih memuja Sang Pencipta, pohon akan mensintesa hormon sitokinin hasil pemecahan adenin lewat jalur mevalonat. Ini jawaban dari hadiah tanah berupa nitrogen, kalium, dan fosfat. Kemudian, pohon tumbuh dengan panduan pemandu sorak berupa auksin dan giberelin. Pesat, cepat, dan kuat.
Akan tetapi, kerap datang suatu masa di mana air tiada, cahaya matahari sayup terasa, suhu udara dingin meraja, pohon pun dengan bijaksana bersandar pada bumi yang bersabar menanti. Maka, diproduksilah hormon absisat sebagai bagian dari tasbih dan siasat. Daun-daun mengering, ranting ranting merangas seolah mudah melenting.
Ketika datang bulir air pertama dan cahaya yang menyimbahi lembah rimba raya, tunas-tunas muda menghijau dan kembali tasbih fotosintesis menguar lewat para stomata yang terus merintih mendamba cinta. Buah-buah angkatan pertama akhirnya meranum dengan bantuan gas etilena yang juga mendorong stomata membuka. Kita pun akan menyaksikan keindahan orkestra alam dengan hadirnya beburungan yang menyantap penuh syukur buah buah nan selezat dan semanis anggur. Lalu, biji-biji yang tertelan dibawa terbang tinggi, menyebar ke pelosok negeri, tersemai dan kelak akan tumbuh kembali.
Maka, mengkal adalah tanda pada burung si caraka pembawa nawala, bahwa anak-anak pohon belum siap dan sempurna untuk ditanam di lahan benua, tunggulah ia sampai matang sempurna. Maa syaa Allah, dari satu kebun atau taman saja, kita bisa mengenal kemahaagungan Allah SWT.
***
Ketika melakukan sebuah perjalanan, rasa ingin tahu dalam benak pun biasanya akan segera muncul, baik sebelum, saat perjalanan, atau bahkan sesudahnya. Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, kita akan berusaha mengenal lebih jauh tempat yang akan atau pernah dikunjungi. Saat melakukan perjalanan dengan menumpangi pesawat terbang misalnya, setidaknya kita akan berusaha mencari tahu tentang jenis pesawat yang ditumpangi, faktor keamanan selama perjalanan, atau membrowsing di internet tentang apa dan bagaimana tempat yang akan kita tuju atau akan kita lewati selama perjalanan. Jika demikian adanya, perjalanan bisa menjadi media untuk menumbuhkan inspirasi, motivasi, rasa ingin tahu dan dapat menjadi media belajar yang menyenangkan.
Pendekatan seperti ini, insya Allah perjalanan yang kita lakukan akan semakin mendewasakan dan mencerdaskan. Namun sekali lagi, pengayaan jaringan di otak sebagai efek dari perjalanan tidak bisa dilepaskan dari proses iqra; proses berpikir, menelaah, dan memaknai, setelah sebelumnya mengumpulkan dan menghimpun informasi yang terserak. Tanpa adanya proses iqra, ke mana pun pergi, kita tidak akan mendapatkan apa-apa, selain kesenangan sesaat plus rasa lelah. (oleh : Tauhid Nur Azhar, sumber foto : deviantart.com/zewlean)