Perempuan Mandiri, Keluarga Berseri
Ribuan kilo…/jalan yang kau tempuh/lewati rintangan untuk aku, anakmu/Ibuku sayang, masih terus berjalan/Walau tapak kaki, penuh darah penuh panah. (Iwan Fals)
Boleh jadi syair di atas adalah gambaran seorang Ibu Karmi, penjual kue kecil yang setiap hari harus berkeliling kampung menjajakan dagangannya. Suaminya, sudah tidak mampu bekerja karena sakit sejak 3 tahun lalu. Sementara masih ada 3 anak yang membutuhkan biaya sekolah dan tentu biaya hidup sehari-hari. Kadangkala, uang modal pun digunakan untuk membeli makanan, bila jualannya sedang sepi. Akibatnya, keesokan hari Ibu Karmi tidak bisa berjualan, karena modalnya tidak ada.
Kondisi Ibu Karmi, sesungguhnya masih banyak terjadi di sekitar kita. Betapa banyak perempuan dhuafa yang membanting tulang dengan berbagai pekerjaan yang dilakukannya. Allah menciptakan laki-laki dengan sempurna, dilengkapi akal, fisik, dan hati agar dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Begitu pun perempuan, diberikan bekal yang sama. Sayangnya, karena ilmu dan informasi yang terbatas, masih banyak perempuan yang belum paham tentang pentingnya sebuah pengembangan potensi dan pemberdayaan diri. Akibatnya, mayoritas perempuan dhuafa hanya menjadi pekerja buruh, serabutan atau berdagang dengan pendapatan yang minim. Ditambah lagi, perempuan sangat rawan dan riskan terhadap hal-hal negatif yang ada ditempat kerja atau tempat usahanya. Sebut saja, pelecehan seksual, kekerasan pada perempuan, eksploitasi perempuan, atau penjualan anak dan perempuan.
Yang menjadi sumber masalah perempuan terletak pada terbatasnya kemampuan untuk hidup mandiri. Bila kondisi seorang suami atau bapak tidak bisa menafkahi keluarganya atau kurang mencukupi, seringkali istri atau anak perempuannya juga ikut serta bekerja. Menjadi buruh, pembantu rumah tangga atau berdagang, biasanya menjadi pekerjaan yang pilih kaum perempuan dalam rangka membantu perekonomian keluarga. Bila hal ini berlanjut tanpa ada upaya perubahan, lingkaran kemiskinan akan terus berkembang. Maka, apa pun posisi kita, masalah kemiskinan ini harus menjadi tanggungjawab kita. Sebagaimana sebuah hadis menyebutkan, kemiskinan dapat mendekatkan seseorang pada kekufuran. Selain dengan mempertebal keyakinan kepada Allah, yang juga tidak kalah penting adalah mengiringinya dengan bekal keterampilan (life skill) sehingga bisa mandiri dan produktif.
Karena itu, sudah seharusnya ada program khusus atau pelatihan yang diikuti perempuan agar mampu mengeksplorasi potensinya. Lebih baik lagi, bila pelatihannya disertai pendampingan, pembinaan berkala hingga mereka dapat benar-benar mandiri. Tidak hanya dari sisi entrepreneurship (kewirausahaan), namun juga dari sisi ruhiyah (spiritual).
Sebenarnya, masalah perempuan tidak hanya menjadi tanggungjawab kaum hawa, tapi juga membutuhkan perhatian kaum Adam. Bahkan, Rasulullah SAW pun di akhir hayatnya berpesan bahwa kaum hawa atau muslimah itu harus dijaga dan diperhatikan. Artinya, siapa pun harus turut memelihara agar jangan ada perempuan yang tergelincir dalam kemorosotan moral. Bentuk perhatiannya bisa sangat beragam. Bisa saja seorang suami memotivasi istrinya agar menyisihkan sekian persen dari anggaran rumahtangganya untuk zakat, infaq atau shodaqah. Atau membantu menghimpun dana sosial dari rekan atau tetangganya yang berlebih, yang selanjutnya dimanfaatkan untuk kepentingan orang-orang dhuafa.
Andai setiap kita menyadari pentingnya pengembangan potensi kaum hawa dalam kedermawanan dan pemberdayaan dhuafa, insya Allah secara perlahan akan menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial seperti kemiskinan dan ketidakberdayaan kaum hawa dari bumi Indonesia. (Nurhayati)