Penghancuran Berhala: Revolusi Pertama yang Menyadarkan Logika di Muka Hukum
“Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.“ (QS. al-Anbiya [60]: 58)
Allah berkehendak mengangkat Ibrahim menjadi Nabi dan Rasul-Nya dengan mewahyukan 10 suhuf kepadanya. Berbekal 10 suhuf (ditambah dengan 90 suhuf yang diestafetkan dari tiga Nabi sebelumnya), Ibrahim menjalankan tugas kerasulannya untuk membawa masyarakat dunia saat itu kepada penghambaan sejatinya. Tunduk-patuh kepada Allah Azza wa Jalla semata.
Setiap perjalanan menadaburi keadaan masyarakat penyembah berhala saat itu, Nabi Ibrahim menemukan satu simpulan mendasar yang menjadi akar penyebabnya. Yaitu keyakinan (diwarisi dari nenek moyang) yang didukung dan ditetapkan undang-undang penguasa setempat. Ia pun menyadari siapa musuh sebenarnya dan berencana menghadapinya.
Nabi Ibrahim tahu, pihak yang dihadapinya bukanlah sembarangan (penguasa Babilonia). Resiko yang ia terima sangat berat dan butuh kekuatan seimbang untuk mengalahkannya. Nabi Ibrahim pun membuat strategi mendapatkan dukungan massa.
Saat perayaan hari besar tiba, Nabi Ibrahim menjadikannya sebagai momen awal merealisasikan rencananya. Di saat para tetangga dan masyarakat Babilonia (umumnya) antusias menghadiri perayaan itu, Nabi Ibrahim bergegas membawa palu menuju kuil tempat berhala-berhala berada.
Nabi Ibrahim mengeksekusi rencananya. Ia menghancurkan seluruh berhala (kecuali yang paling besar) menggunakan palu, yang selanjutnya disimpan di berhala paling besar. Setelah semua rencananya dianggap beres, ia pun kembali ke rumahnya.
Keesokan harinya, Kerajaan Babilonia gempar dengan kejadian tersebut. Mereka tidak menduga, berhala-berhala yang mereka hormati dan jaga, bahkan sembah bisa hancur sedemikian rupa. Mereka pun berkumpul dan mencari akar penyebab. Sampai akhirnya ditemukan satu kesimpulan, berhala-berhala itu kemungkinan besar dihancurkan oleh pemuda bernama Ibrahim.
Raja Namrudz murka. Ia sebagai penguasa memerintahkan aparat kerajaanya untuk mengumpulkan massa, membuat perapian (yang besar), dan menangkap serta membawa Nabi Ibrahim ke persidangan. Sebelum menghukum, petugas meminta pengakuan Nabi Ibrahim bahwa ia telah melakukan perbuatan itu.
Ruang lingkup persidangan berbicara tentang saksi dan alat bukti. Menurutnya, pelaku penghancuran ini sudah bisa diketahui dengan jelas, yaitu berhala yang besar (dengan bukti palu yang ada padanya). Ada pun pengakuannya, Nabi Ibrahim mempersilahkan petugas untuk menanyakannya langsung kepada berhala tersebut.
Petugas sidang pun tertunduk mendengar jawaban itu, karena bingung bagaimana menindaklanjutinya. Kebingungannya berubah menjadi teguran keras bahwa Nabi Ibrahim telah mempermainkan persidangan, karena meminta petugas berbicara dengan benda (berhala) yang tidak bisa mendengar apalagi berbicara.
Momen inilah yang ditunggu Nabi Ibrahim. Segera setelah pernyataan petugas sidang itu, ia membalikkan keadaan dengan memojokkan petugas sidang perihal orang yang telah mempermainkan kebenaran. Nabi Ibrahim menegaskan kembali pernyataan petugas bila mendengar dan berbicara saja tidak bisa, berarti berhala tidak punya kemampuan mengabulkan doa kita. Dan bila (ketika) dipukul (dengan palu) saja ia menjadi hancur, lalu bagaimana ia mampu menyelamatkan kita?
Akhirnya persidangan yang dihadiri masyarakat itu tidak lagi fair. Sadar terhadap kekalahan dalam hujjah dan pandangan petugas sidangnya, Raja Namrudz mengambil alih dan menetapkan Nabi Ibrahim menistakan keyakinan mereka, dan berhak menerima hukuman terberat yaitu hukuman mati.
Nabi Ibrahim pun dibakar ke dalam api besar, disaksikan masyarakat yang hadir saat itu. Namun atas kuasa dan kehendak-Nya, Nabi Ibrahim tidak merasakan panas sehingga bisa selamat dari hukuman api tersebut. Sedangkan Raja Namrudz beserta aparatnya mendapatkan azab Allah. Wallahu a’lam.
Oleh: Ust. Edu, sumber foto : reseapedia.com