Pendidikan Moral Punakawan
Punakawan atau keempat tokoh komedi pewayangan ternyata bukanlah toko asli dalam cerita pewayangan kuno. Dalam kitab Ramayana maupun Mahabharata, tokoh Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong sama sekali tidak dikenal. Keempat tokoh itu merupakan rekaan Sunan Kalijaga untuk mengubah pertunjukan wayang sehingga berisikan dakwah. Tidak sekadar hiburan melainkan berisi syiar Islam.
Unsur islami sebenarnya sangat kental dalam karakter Punakawan. Para wali membuat lakon-lakon tersebut untuk menyebarkan syiar-syiar Islam dengan cara alkulturasi, sehingga pesan-pesan dalam agama Islam dapat sampai ke masyarakat Jawa yang pada masa itu masih menganut Hindu-Budha dan animisme.
Selain sebagai penasihat, Punakawan juga berperan sebagai pengasuh atau penghibur. Bahkan sering menjadi seorang kritikus sosial selain melontarkan komedi-komedi dalam cerita pewayangan. Jika dilihat tokoh-tokoh Punakawan memiliki akar kata yang berasal dari bahasa Arab.
Filosofi Punakawan
Dalam cerita, Semar adalah pengasuh utama para Pandawa. Bila didampingi olehnya maka tokoh utama tidak akan menghadapi malapetaka. Rupanya jelek, wajahnya tua namun berkuncung seperti anak kecil. Tidak jelas laki-laki atau perempuannya. Mulutnya tersenyum tetapi matanya menitikkan air mata yang melambangkan keseimbangan.
Semar berasal dari kata bahasa Arab yakni Mismar yang dalam lidah Jawa menjadi Semar. Sedangkan Mismar sendiri berarti paku yang mana fungsinya sebagai pengokoh dan melambangkan pedoman hidup manusia. Tiada lain tidak bukan adalah agama. Oleh karenanya Semar bukanlah tokoh yang harus dipuja. Namun penciptaan tokoh ini didasarkan pada pelambangan agama sebagai pedoman hidup manusia.
Tokoh Semar sering diceritakan sebagai kunci keselamatan hidup para Pandawa Lima. Sifatnya bijaksana dan mampu memberikan jawaban atas semua permasalahan yang dihadapi oleh Pandawa lima. Tokoh Semar pun memiliki ciri penuh dengan keseimbangan, sehingga pantaslah kalau ditunjuk sebagai penasihat Pandawa.
Lalu ada Petruk, yang mana kata Petruk berasal dari kata Fatruk yang dicungkil dari kalimat tasawuf Fatruk Kulla Maa Siwallahi yang artinya tinggalkanlah semuanya selain Allah. Wejangan semacam inilah yang menjadi watak para wali dan mubaligh masa itu. Petruk juga dijuluki sebagai kantong bolong. Bermakna setiap manusia harus menyerahkan jiwa raganya kepada Allah semata secara ikhlas, tanpa pamrih seperti berlubangnya kantung tanpa penghalang.
Kemudian Bagong, berakar dari kata Baqa` yang bermakna kelanggengan atau keabadian. Yang mana setiap manusia akan kembali kepada keabadian akhirat. Sedangkan dunia adalah tempat menumpang minum belaka. Sebuah pengajaran filosofis dari Kanjeng Sunan Kalijaga bahwa hidup di dunia ini sekadar mampir untuk minum. Bukan untuk ngopi, jadi memang sebentar sekali. Tetapi mampir untuk sekadar minum, tidak ada waktu untuk semua hal itu.
Terakhir Gareng atau Nala Gareng yang berasal dari kata Naala Qariin yang bermakna memperoleh banyak teman. Maksudnya adalah sesuai dengan dakwah para wali; mengajak umat dan memperoleh teman harus sebanyak-banyaknya diajak untuk kembali ke jalan Allah. Dengan sikap arif dan harapan yang baik. Prinsip yang digunakan dalam dakwah tersebut adalah prinsip bahwa Islam merupakan rahmat untuk seluruh alam. Sebab atas dasar prinsip inilah, Islam dibangun dan dikembangkan sebagai sebuah konsep dan ajaran yang suci dan menyucikan.
Kalimasada
Pertunjukan wayang kulit islami untuk pertama kalinya digelar pada saat peresmian Masjid Demak. Lakon yang dimainkan adalah Hilangnya Jimat Kalimasada. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa Kerajaan Amarta sedang diguncang bencana dan nestapa. Semua kesulitan itu hanya bisa diatasi dengan digunakannya Jimat Kalimasada oleh raja dan rakyatnya.
Inilah cerdasnya para wali karena ternyata Jimat Kalimasada itu merupakan perlambang. Diambil dari kata Kalimat Syahadat, sehingga bermaksud bahwa jika suatu bangsa ingin bahagia dan terlepas dari segala bencana maka mereka harus memegang dengan kuat kalimat syahadat. Sebuah pengajaran dan pendidikan moral yang amat tinggi. (Gian)