Pendidikan menurut Imam Al-Ghazali
Imam Abu Hamid Muhammad dan lebih dikenal dengan al-Ghazali adalah salah seorang ilmuwan yang sangat masyhur, baik itu di dunia Barat maupun Timur. Kehadirannya banyak memberikan khasanah dan peninggalan berharga bagi kehidupan manusia. Sosok figur al-Ghazali sebagai pengembara ilmu yang sarat akan pengamalan, mengantarkan posisinya menjadi tokoh di segala bidang ilmu agama dan dikenang di setiap zaman.
Kegigihan Imam al-Ghazali dalam menelusuri kebenaran ilmu berbekal kecerdasan dan pemikirannya yang cemerlang menghasilkan ciri keulamaan sekaligus kecendikiaannya. Yang mana hal ini membuatnya pantas menyandang gelar sebagai Hujjatul Islam. Selain seorang teolog dan sufi muslim yang disegani, al-Ghazali memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan.
Imam Al-Ghazali dan Pendidikan
Di antara karya besarnya yakni Ihya al-Ulumuddin, Fatihat al-Ulum, dan Mizan al-Amal, adalah tiga di antara karyanya yang berisi tentang pandangannya terhadap persoalan-persoalan pendidikan. Salah satu persoalan pendidikan yang mendapat perhatian besar dari al-Ghazali adalah perihal guru dan kaitannya dengan proses pendidikan. Al-Ghazali mempergunakan istilah pendidik dengan berbagai kata seperti al-Muallimin (guru), al-Mudarris (pengajar), dan al-Walid (orangtua). Bagi beliau, guru atau pendidik bertugas dan bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran dengan cakupan yang lebih luas.
Dalam kitab Ihya Ulumuddin, al-Ghazali mengungkapkan bahwa apabila ilmu pengetahuan itu lebih utama dalam segala hal, maka mempelajarinya merupakan kemuliaan. Pengajar ilmu akan mendapatkan faedah dari keutamaan dan kemuliaan itu. Hal ini bermakna mengajar dan mendidik adalah perbuatan sangat mulia, karena secara naluri orang yang berilmu itu dimuliakan dan dihormati oleh orang.
Guru Profesi Mulia
Ilmu pengetahuan itu sendiri sangat mulia dan mempelajarinya merupakan ajaran agung Islam, maka mengajarkannya adalah memberi kemuliaan. Akan tetapi posisi pengajar dalam masyarakat modern dewasa ini lebih sering dianggap sebatas petugas semata yang mendapat gaji dari negara atau instansi yang tanggung jawabnya tertentu. Tugas dan tanggung jawab pun menjadi kering dan terasa formal. Padahal sesungguhnya tugas mengajarkan ilmu itu menduduki posisi terhormat dan mulia.
Kehormatan dan kemulian yang disandang guru membawa konsekuensi logis bahwa pengajar lebih dari sekadar petugas yang hanya menerima gaji. Guru sebagai figur teladan mesti memperlakukan anak didiknya dengan sebaik-baiknya. Anak didik sebagai manusia yang mudah dipengaruhi, sifat-sifatnya mesti dibentuk dan untuk mengenal peraturan moral serta ajaran ilahi.
Itulah sebabnya seorang guru tak cukup hanya mengandalkan kepandaian atau kepemilikan otoritas disiplin ilmu tertentu saja. Dia haruslah orang yang berbudi dan beriman sekaligus pandai beramal. Tingkah laku guru dapat memberikan pengaruh langsung pada kepribadian anak didiknya. Jika hal ini dapat dimanifestasikan dengan baik, maka rasa hormat anak didik terhadap sang pengajar akan datang sehingga pelajaran hidup dapat mudah merasuk ke dalam hati anak didik.
Ilmu Bermanfaat
Dengan demikian, guru adalah orang yang menempati status mulia. Gurulah yang memasukkan pendidikan akhlak dan keagamaan dalam hati sanubari muridnya. Sedangkan jiwa manusia adalah unsur paling mulia pada bagian tubuh manusia. Dan manusia merupakan makhluk yang paling mulia, dibandingkan dengan makhluk lainnya. Menurut al-Ghazali, dalam mengajarkan ilmu pengetahuan seorang guru hendaknya memberikan penekanan pada upaya membimbing dan membiasakan amal. Hal ini agar ilmu yang diajarkan tidak hanya dipahami dan dikuasai, akan tetapi lebih dari itu perlu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini membuat kualitas ilmu yang diajarkan memang bukan pada hafalan atau teori semata, melainkan pada pengamalannya. Seorang guru dianggap berhasil manakala hal yang diajarkannya dapat diamalkan oleh sang murid. Dari sanalah pahala ilmu jariyah itu akan mengalir berupa ilmu yang bermanfaat.* (Gian)
*disunting dari Guru dalam Perspektif Pendidikan Islam oleh Rahman Padung
ket: ilustrasi foto diambil saat sebelum pandemi