Pemimpin Memotivasi, Boss Mengintimidasi
Visi seorang pemimpin yang jelas akan menggerakkan para pengikut. Visi memberikan arah yang jelas yang akan dituju oleh sebuah lembaga atau organisasi, di mana di dalam visi tersebut setiap anggota organisasi melihat suatu keadaan ideal, atau keadaan yang lebih baik, yang akan memberikan harapan pada perbaikan kualitas. Visi yang jelas adalah harapan, maka tugas pemimpin untuk terus memberikan motivasi kepada para pengikutnya untuk mewujudkan harapan.
Visi menjadi harapan bersama, setiap anggota memiliki harapan yang sama untuk mewujudkan visi tersebut, namun dengan nuansa yang mungkin berbeda. Masing-masing anggota, bisa jadi memiliki harapan yang berbeda atas terwujudnya harapan bersama itu. Kemampuan pemimpin untuk mengenali harapan-harapan anggotanya, akan menjadi titik masuk untuk memberikan motivasi.
Teori Maslow yang populer, membagi kebutuhan manusia ke dalam beberapa hirarki. Hirarki Maslow tersebut dapat saja dijadikan acuan seorang pemimpin untuk memotivasi pengikutnya. Hanya saja, akan lebih baik apabila pemimpin memotivasi para pengikutnya justru dengan membangun kepercayaan kepada para pengikutnya seperti melalui pendelegasian yang benar, melibatkan secara aktif para pengikutnya dalam proses mewujudkan visi, serta keteladanan pemimpin dalam bergerak dan berjuang. Ketiga hal itu akan jauh lebih efektif daripada menggerakkan pengikut dengan motivasi materi. Memotivasi pengikut dengan kebutuhan materi atau kesejahteraan pribadi dapat menjadi pedang bermata dua, bisa produktif dan seringkali malah kontraproduktif.
Pendelegasian yang benar disamping merupakan bukti kepercayaan pemimpin kepada pengikutnya, juga memberikan kesempatan kepada pengikut untuk mengembangkan kemampuan dan potensinya. Dalam mendelegasikan tugas dan wewenang, seorang pemimpin akan ikut mendampingi secara aktif dan intensif sehingga pendelegasian bukanlah pelemparan tanggung jawab, membuang pekerjaan “sampah”, atau malah menjerumuskan bawahannya. Apabila pendelegasian dilakukan secara benar, kepercayaan akan tumbuh, begitu pula loyalitas, dan pada saat yang sama kemampuan dan potensi pengikut pun berkembang.
Hal ini, berbeda dengan Bos, di mana untuk menggerakkan bawahannya selalu mengandalkan otoritas formalnya dalam struktur organisasi, sehingga setiap pendelegasian tugas dan wewenang menjadi sekadar pelemparan tanggung jawab. Bila pekerjaan yang “didelegasikan” meraih sukses, dengan cepat ia mengklaim sebagai pekerjaannya. Namun apabila kegagalan yang terjadi (dan ini yang biasanya terjadi), maka kesalahan dan tanggung jawab pun dilemparkan kepada bawahannya.
Bila hal ini terjadi berulang kali, pada akhirnya bawahan pun semakin enggan untuk bergerak dan mengerjakan pekerjaannya. Pada saat aktifitas melemah, seorang Bos bukannya memotivasi tetapi malah membongkar kesalahan-kesalahan bawahannya yang mana hal ini semakin melumpuhkan dan mematikan inisiatif dan motivasi bawahannya. Pada saat itulah, seorang Bos akan mengeluarkan “jurus” terakhirnya, yaitu mengintimidasi bawahannya dengan sejumlah “ancaman”.
Bagi seorang pemimpin, tatkala melihat bawahannya melemah semangatnya, itulah saatnya bagi dirinya untuk hadir memotivasi pengikutnya. Bila terjadi penyimpangan dan kesalahan, saatnya pula bagi dirinya untuk meluruskan dan membantu untuk memperbaiki. Pada saat yang sama, ia menilai semua kesalahan dan kegagalan yang terjadi, sebagai bagian dari pelajaran yang tak ternilai, untuk terus maju dan memperbaiki metode dan menyempurnakan usaha.
Hal itu, tidak dimiliki seorang Bos. Hal ini pula yang membawa pada perbedaan berikutnya antara seorang Pemimpin dan Bos. Pemimpin melakukan penilaian, Bos menghitung. (Muhammad Aldi)