Pembangunan Ka’bah: Membangun Kesadaran Diri Milik Allah dan Akan Kembali Kepada-Nya
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): ‘Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’” (QS. al-Baqarah [2]: 127)
Sebelum menciptakan, Allah dengan ilmu dan kemahaan-Nya terlebih dulu menetapkan qadha atas seluruh makhluk-Nya. Sesuai qadha tersebut, selanjutnya Allah secara azali (kun fayakun) atau secara alami (menugaskan malaikat) mengadakan seluruh makhluk-Nya secara bergiliran. Ada yang dahulu, juga ada yang belakangan. Semuanya tidak lepas dari apa yang Allah qadha-kan.
Atas ketentuan yang telah makhluk terima, kita mengenal dengan istilah taqdir. Allah menetapkan dua taqdir atas makhluk-Nya, yaitu takqdir mubram dan taqdir mu’allaq. Taqdir mubram adalah ketentuan Allah atas makhluk-Nya yang dipilihkan dan tidak bisa diubah sekehendak makhluk. Sedangkan taqdir mu’allaq adalah ketentuan yang Allah leluasakan atas makhluk-Nya, untuk ia pilih atau tolak karena Allah berkehendak meminta pertanggungjawaban atas pilihan tersebut di yaumil akhir. Taqdir mu’allaq ini Allah berlakukan bagi jin dan manusia saja.
Sebelum menakdirkan manusia ke bumi, Allah memerintahkan malaikat untuk mendirikan bangunan yang akan menjadi rumah pertama bagi manusia. Bangunan ini selanjutnya dikenal dengan nama Baitullah, Baitul ‘Atiq, atau (mayoritas masyarakat sekarang menyebutnya) Ka’bah. Allah mengaruniakan berkah kepada Ka’bah dengan menetapkannya sebagai petunjuk, tempat berkumpul yang aman, dan kiblat bagi manusia.
Namun sayang, kabar tentang pemeliharaan dan pendayagunaan Ka’bah pada zaman Nabi Adam sampai Nabi Saleh hampir tidak ada, karena minimnya catatan dan referensi valid terkait. Barulah cerita ini dimulai dan menjadi populer pada zaman Nabi Ibrahim.
Berdasarkan nash al-Quran dan al-Hadis, Allah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim untuk meninggikan bangunan Ka’bah. Nabi Ibrahim pun melaksanakan perintah tersebut dengan melibatkan putra sulungnya, Ismail remaja. Bangunan Ka’bah harus ditinggikan karena pada saat banjir besar zaman Nabi Nuh, dinding-dinding Ka’bah tersapu habis hanya menyisakan pondasinya saja.
Nabi Ibrahim bersiap meninggikan bangunan Ka’bah sesuai petunjuk Allah. Ia memerintahkan Ismail untuk menyiapkan bebatuan (hijir) yang akan disusun. Tumpukan bebatuan yang dikumpulkan Ismail selanjutnya kita kenal dengan Hijir Ismail. Ada pun tempat Nabi Ibrahim memandu Ismail untuk mengumpulkan batu dan proses peninggian Ka’bah kita selanjutnya kenal dengan Maqam Ibrahim.
Nabi Ibrahim meninggikan Ka’bah sampai setinggi 9 hasta, dengan lebar 32 hasta. Lalu, beliau lebarkan antara Rukun Syami dengan Rukun Gharbi (Barat) menjadi 22 hasta, antara Rukun Gharbi dengan Rukun Yamani menjadi 31 hasta, dan antara Rukun Yamani dengan Rukun Aswad menjadi 20 hasta.
Nabi Ibrahim juga membuat dua pintu untuk Ka’bah dengan ukuran yang sama. Satu dari arah timur dekat Hajar Aswad, dan yang lainnya dari arah barat dekat Rukun Yamani. Beliau juga membuat lubang di dalam Ka’bah (sebelah kanan orang yang masuk dari pintu timur), yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta Ka’bah. Saat itu, Ka’bah belum diberi atap.
Allah selanjutnya menugaskan Nabi Ibrahim untuk menjadikan Ka’bah sebagai tempat melaksanakan syariat yang mendatangkan karunia dan rida Allah, berupa berhaji. Setiap orang yang berhaji, ia harus meninggalkan keluarga, harta benda, dan semua kesibukannya untuk fokus kepada satu tujuan saja, yaitu menemui Allah semata.
Selama berhaji, seseorang harus memakai pakaian ihram berupa dua lembar kain putih tidak berjahit dan tidak boleh melakukan semua hal yang dilarang. Syariat ini Allah tetapkan untuk menyadarkan bahwa manusia berasal dari Allah tanpa disertai apa-apa, dan akan kembali kepadanya tanpa membawa apa-apa. Wallahu a’lam. (Oleh : Ustadz. Edu)
Sumber foto : masjidil_haram_by_edgeofuniverse_deviantart