Parenting Era Digital: Antara Cemas, Galau, dan Optimistis
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu // Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri // Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu // Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu.
~Kahlil Gibran, ‘Anak-anakmu’~
Bisa jadi, maksud dari Kahlil Gibran dalam puisi ‘Anak-anakmu’ pada awal tulisan ini mengandung makna positif. Yakni pesan kepada setiap orangtua agar mengasuh anaknya tidak secara otoriter. Anak memiliki ‘jiwa’nya sendiri yang berbeda dengan ‘jiwa’ kedua orangtuanya. Jadi, jangan bentuk anak agar sesuai citra dari orangtuanya. Biarkan mereka menjadi diri sendiri, dan bebas menentukan akan jadi individu seperti apa mereka kelak.
Namun, sang penyair dari Lebanon ini mungkin saja akan berpikir ulang jika ia hidup pada era saat ini. Masa ketika arus informasi begitu luas tanpa sekat dan batas. Masa ketika nilai-nilai kebenaran dan kebathilan berlomba sama kuatnya untuk memengaruhi jiwa-jiwa muda itu untuk mengikutinya. Masa ketika beragam norma dan tabu dengan mudahnya dilabrak karena kebebasan untuk memperolehnya. Peran dan fungsi dari kedua orangtua menjadi sangat penting dalam membentuk kepribadian anak yang kuat. Kepribadian yang berlandaskan nilai-nilai qurani, sehingga menjadi imun/kebal terhadap berbagai pengaruh negatif pada era digital.
Cemas dan Galau
Masa kini yang ditandai dengan aneka kemudahan dalam mengakses informasi memang menghadirkan tantangan tersendiri bagi para orangtua. Digitalisasi yang terjadi dan mengambil wujud berupa berbagai jenis perangkat teknologi informasi, di satu sisi telah merevolusi cara hidup manusia modern ke arah positif. Tapi di sisi lain, teknologi informasi juga signifikan menyumbang kemerosotan akhlak (dekadensi moral) generasi muda.
Hal ini membuat tidak sedikit dari orangtua yang harap-harap cemas saat melepas anak-anaknya keluar rumah. Baik itu untuk bersekolah atau sekadar hanging out (bersenang-senang) bersama teman-temannya. Banyak pula yang galau karena menyadari jika anak-anak mereka dapat menjadi sasaran empuk dari beragam dampak buruk pesatnya perkembangan teknologi informasi. Mudahnya akses untuk memperoleh informasi apa saja—terutama yang bermuatan negatif—jadi biang lahirnya generasi lemah, baik mental maupun emosionalnya.
Padahal, dalam al-Quran surah an-Nisa [4]: 9, Allah telah mewanti-wanti agar kita tidak mewariskan ‘estafet kekhalifahan’ ini kepada generasi yang lemah. “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” Sebaliknya, kita sebagai orangtua harus berusaha semaksimal mungkin melahirkan generasi yang kuat, cerdas, penyejuk mata dan hati, serta pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. “Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Tuhan kami anugerahkan kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikan kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’”. (Qs. al-Furqan [25] : 74)
Parenting/Pola Asuh Era Digital
Pola asuh orangtua kepada anaknya (parenting) menjadi solusi dari semua persoalan ini. Keluarga merupakan madrasah pertama sang anak sebelum ia berinteraksi dengan lingkungan sosial di luar rumahnya. Dalam keluarga, sang anak dibentuk agar memiliki kekebalan terhadap pengaruh negatif. Bukan membentuk sang anak agar bebas dari pengaruh negatif, karena itu terasa begitu naif. Sangat tidak mungkin pada era digital, sang anak seratus persen dapat bebas dari dampak buruk perkembangan teknologi. Jadi, yang sangat realistis adalah mempersiapkan sang anak agar mampu menolak dan menjauhi pengaruh negatif yang menghampirinya.
Untuk itu, ayah maupun ibu harus bahu-membahu mengemban perannya. Saling berbagi tanggung jawab dalam pengasuhan terhadap anak-anak mereka. Ayah dan ibu setidaknya harus paham bahwa tugas mengasah, mengasih, dan mengasuh anak bukan hanya ‘dibebankan’ kepada salah satu pihak. Ibu memang secara fitrah maupun kodratnya merupakan sosok pertama dan utama bagi sang anak pada masa-masa awal kehidupannya. Dari ibu, sang anak mulai belajar nilai-nilai kehidupan yang penting bagi kehidupannya ketika dewasa. Kegagalan peran ibu pada tahap ini akan berdampak fatal. Sang anak bukan tak hanya menjadi pribadi yang hampa nilai, tapi ia juga akan menjadi asing dengan dirinya sendiri dan Tuhannya, Allah SWT.
Namun, ayah pun tidak bisa lepas dari tanggung jawab dalam mengasah, mengasih, dan mengasuh anaknya. Dalam al-Quran, kita temukan Allah SWT setidaknya menyebutkan tiga figur ayah teladan, yakni Nabi Ibrahim, Nabi Ya’qub, dan Luqman al-Hakim. Diabadikannya kisah tiga sosok mulia tersebut dalam al-Quran agar menjadi acuan—terutama bagi sang ayah—dalam mendidik anak. Lalu, pola pendidikan seperti apa yang dilakukan Nabi Ibrahim, Nabi Ya’qub, dan Luqman al-Hakim kepada anak-anak mereka? Jawabnya adalah sebagai berikut:
1. Memberikan teladan dalam mendidik anak dengan penanaman nilai akidah/tauhid dan akhlak terlebih dahulu.
Lihat surah Lukman [31] : 12-19.
2. Berikan pemahaman apapun kepada sang anak dengan kalimat-kalimat thayyibah. Yakni kalimat yang laksana pohon,
yang akarnya menghujam ke bumi dan dahannya menjulang ke langit, dengan buah sangat banyak. Lihat surah Ibrahim
[14]: 24-25).
3. Senantiasa menghiasi setiap perilaku dengan akhlak mulia.
Analoginya adalah sebatang pohon supaya tumbuh dengan baik, maka perlu diberi pupuk. Begitu pula sang anak, agar
ia tumbuh dengan baik maka juga perlu ‘dipupuk’ dengan akhlak mulia. Dan ayah—begitu pula ibu—menjadi contoh
utamanya. Lihat surah al-Baqarah [2] : 133, dan al-Israa’ [17] :23-24).
4. Perkuat keyakinan sang anak bahwa al-Quran sebagai obat dan penyejuk hati ketika sedang galau atau gelisah.
Dengan sang anak memiliki keyakinan al-Quran sebagai panduan dalam kehidupannya (quran oriented), maka ia pun
insya Allah akan kebal terhadap berbagai pengaruh negatif dari lingkungannya. Lihat surah Fushshilat [41]: 44,
dan al-Israa’ [17]: 82).
Ini berarti, ayah selain bertanggung jawab terhadap urusan nafkah, ia juga punya tanggung jawab besar dalam mendidik anaknya. Ayah tidak dapat bebas melepaskan seluruh tanggung jawab pengasuhan kepada ibu. Tentu saja hal tersebut bukan perkara gampang. Setelah berlelah-lelah dalam urusan pekerjaan, sang ayah pun harus punya tenaga ekstra agar sang anak mendapatkan waktu pengasuhan darinya. Saling melengkapi dan bersinergi antara ayah dan ibu merupakan kensekuensi logis parenting anak pada era digital.
Tetap Optimistis
Sikap mental optimistis senantiasa perlu dikedepankan. Dengan sikap mental seperti ini, tak hanya orangtua yang akan merasa nyaman menjalankan fungsi dan perannya, anak-anak yang diasuh pun menjadi lebih percaya diri. Rasa cemas atau galau yang berlebihan dari orangtua kepada anak-anaknya, hanya akan membuat mereka (anak-anak) merasa tidak dipercaya. Jika kondisi ini terjadi, anak-anak itu akan mencari ‘orang lain’ yang mereka anggap dapat menghargai dan membuatnya percaya diri. ‘Orang lain’ itu dapat berupa teman pergaulan atau informasi-informasi keliru yang mereka peroleh dari berbagai perangkat teknologi informasi
Semoga, kita yang oleh Allah telah dianugerahi keluarga dapat menjaga amanah itu dengan semaksimal mungkin. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah at-Tahrim [66]: 6, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..” Pun bagi yang belum berkeluarga, tidak ada salahnya mulai memikirkan hal tersebut. Mempersiapkan sejak dini agar siap menjadi figur ayah atau ibu teladan, tentu saja lebih elok daripada ketika saatnya menjadi ayah/ibu, kita tidak siap sama sekali. Wallahu a’lam bishawab. (Suhendri Cahya Purnama)