Nabi Yahya (1): Pribadi Berkarakter al-Hanan (Peduli dan Sayang)
“Hai Yahya, ambilah al-Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih anak-anak, dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dari dosa). Dan ia adalah seorang yang bertakwa, dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong dan durhaka. Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia diiahirkan, dan pada hari itu ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan kembali.” (QS.Maryam/19: 12-15).
Allah Azza wa Jalla mengaruniakan sifat penyayang (al-hanan) kepada Yahya a.s. sejak usia remaja Al-Hanan adalah kecintaan mendalam terhadap pihak lain yang muncul bukan karena belas kasih semata namun karena kedalaman ilmu dan pemahaman (bahwa segala sesuatu Allah ciptakan tidak sia-sia).
Melalui karakter al-hanan ini, Yahya remaja tumbuh kembang menjadi pribadi yang fokus dan maksimal menjalankan tugas penghambaan (karena sadar atas kedudukan diri di hadapan Allah sebagai hamba-Nya), zuhud atas dunia (karena sadar bahwa dunia bersifat fana dan hanya menjadi tempat singgah sementara), dan peduli (karena yakin bahwa manusia adalah wakil Allah yang harus mengelola dan memakmurkan bumi sesuai kehendak-Nya).
Yahya remaja mengungkapkan rasa sayang kepada seluruh makhluk-Nya. Ia tidak hanya mencintai sesama manusia. Bahkan burung-burung, gunung, gurun, dan binatang buas sekalipun ia sayangi tak terkecuali. Yahya remaja menyadari bahwa seluruh ciptaan Allah telah ditetapkan guna dan manfaatnya bagi kehidupan manusia yang harus digali dan diketahui manusia agar bisa memaksimalkannya seoptimal mungkin.
Sejak masa kelahirannya, kehidupan Yahya a.s. tidak sepi dengan kejadian yang menggetarkan iman. Beliau lahir di saat usia ayahnya (Nabi Zakaria) berusia lanjut (sehingga tampak seakan-akan Allah memang tidak akan mengaruniakan keturunan kepadanya), di tengah masyarakat yang terbagi dua kelompok besar (masyarakat yang memanfaatkan keadaan untuk memuaskan hawa nafsu dan masyarakat yang merindukan juru selamat yang akan membawa masyarakat kepada kehidupan sejata dalam penghambaan kepada-Nya semata).
Kehidupan Yahya a.s. dibarengi dengan kawalan keselamatan yang Allah janjikan di tiga keadaannya yaitu lahir, meninggal, dan saat berbangkit. Jaminan ini Allah sampaikan melalui firman-Nya yang Allah wahyukan kepada Nabi Zakaria di saat beliau mendapat kabar gembira kehadiran “buah hati” yang selama ini diharapkan melalui lantunan doa-doanya. Dan tentunya jaminan ini menjadi isyarat bahwa Yahya a.s. akan berhadapan dengan satu kekuatan keras yang akan mendzaliminya dengan keras pula.
Atas jaminan yang langsung datangnya dari Allah Azza wa Jalla, Yahya remaja tumbuh kembang tidak seperti lazimnya anak remaja yang lain. Bila umumnya anak-anak remaja saat itu bermain dengan hal-hal yang tidak atau kurang berguna, Yahya remaja menampakkan keseriusannya mengamati dan memahami keanekaragaman alam yang terbentang di sekitarnya(ta’limul alam).
Bila umumnya remaja saat itu senang dan merasa terhibur dengan menjadikan binatang sebagai mainan (sehingga tidak sedikit yang bahkan sampai menyiksanya secara tidak sadar), Yahya remaja justru malah memberikan makanan yang dimilikinya agar setiap binatang yang ditemuinya cukup terpenuhi kebutuhan perutnya. Resikonya, Yahya remaja harus rela memakan buah bahkan daun-daun yang memungkinkan bisa ditemukan di sekitarnya.
Yahya remaja banyak menghabiskan waktu untuk membaca dan mendalami kitab sehingga Allah menganugerahinya kemampuan menjelaskan kitab dan hikmah serta menyucikan mereka melalui kitab dan hikmah tersebut hingga beliau mendapatkan kedudukan sebagai hakim di usia mudanya. Kemampuannya memahami syariat dengan sempurna dan paripurna menyebabkan masyarakat tidak memiliki hujjah sedikitpun sehingga syariat tidak bisa tunai terjalankan.
Dan di saat tidak ada kasus yang harus diselesaikannya, Yahya remaja menghabiskan waktu untuk bertapakur merenungi ilmu Allah yang teramat luas sehingga semakin banyak pula bekal hikmah yang bisa beliau sampaikan kepada umat yang dicintainya. Wallahu a’lam.
Oleh : Ustad Edu, sumber foto: pribadi