Mie Instan, Antara Perilaku dan Ketahanan Negara
Siapa yang gak doyan Indomie? Ada sih pasti, tapi sepertinya statistik mencatat lebih banyak lagi yang doyan dan bahkan sampai level ketergantungan tinggi pada produk pangan yang satu ini. Tidak peduli jenderal atau pemulung, apalagi mahasiswa. Jangan ditanya. Warmindo pun menjamur, terlebih di sekitaran kampus!
Namun, tahukah Anda bagaimana asal mula lahirnya mie instan? Yuk kita gali sedikit sejarah kelahirannya.
Mie instan diciptakan oleh Momofuku Ando pada 1958. Motivasi utamanya adalah mensubstitusi kebutuhan pangan masyarakat Jepang yang sedang terpuruk pasca Perang Dunia ke-2. Saat itu, bahan makanan segar sulit didapatkan. Kalau pun ada harganya sangat mahal, sehingga tidak terjangkau kebanyakan orang. Ada pun kebutuhan utama adalah kalori sebagai sumber tenaga untuk bekerja. Atas dasar itulah, Momofuku Ando tergerak berinovasi dengan teknik pengeringan bahan sederhana yang tersedia saat itu.
Keberhasilan proses new product development-nya kemudian ditindaklanjuti dengan mendirikan perusahaan Nissin, dan memproduksi produk mie instan pertama di dunia secara massal. Chicken Ramen (ramen adalah sejenis mie tradisional Jepang) rasa ayam adalah varian pertama yang dihasilkan.
Inovasi lainnya terjadi pada 1971 ketika Nissin memperkenalkan mie dalam gelas bermerek Cup Noodle. Sampai saat ini mie instan dapat dijumpai dalam berbagai kemasan yang tetap mengarusutamakan segi kepraktisan dengan sedikit mengabaikan aspek nutrisi, yang kadang tidak seimbang untuk memenuhi kebutuhan gizi harian manusia.
Tentu proses pembuatan mie instan pertama kali oleh Sensei Momofuku Ando masih sangat konvensional dan bersifat manual. Pada tahap selanjutnya, di mana proses pengeringan semakin berkembang, langkah-langkah fabrikasi mie secara massal pun dilakukan.
***
Pada akhirnya, mie instan berkembang menjadi makanan milyaran umat, baca milyaran lho ya, bukan sekadar jutaan. Industri mie menggurita, sampai-sampai industri pangan tanah air pun didominasi oleh industri mie instan. Salah satu brand yang sudah begitu melekat pada produk mie instan di tanah air adalah Indomie. Bahkan Indomie sudah menjadi identitas produk mie instan di Indonesia.
Ratusan varian dan inovasi pun dilahirkan oleh segelintir perusahaan yang sebenarnya bermain di struktur pasar oligopoli. Dan, disadari ataupun tidak, tentu Indomie punya kontribusi signifikan pada kondisi ekonomi Indonesia. Bayangkan jika kita mengacu pada laporan World Instant Noodles Asosiation (WINA), konsumsi mie instan di Indonesia pada tahun 2017 yang lalu, mencapai jumlah mengejutkan yakni 12,62 miliar bungkus Bro!
Hal ini berhasil menempatkan Indonesia sebagai konsumen mie instan terbesar kedua di dunia yang melampaui Jepang 5,66 miliar porsi, India 5,42 miliar porsi dan Vietnam 2,06 miliar porsi. Posisi teratas masih ditempati China dengan jumlah konsumsi sebanyak 38,970 miliar porsi.
Tentu saja, kondisi ini mempengaruhi kondisi neraca berjalan perdagangan Indonesia dengan negara-negara mitra. Mengapa? Karena bahan baku mie instan tak lain adalah tepung terigu, yang merupakan hasil pemrosesan dari gandum. Padahal kita tidak punya lahan pertanian khusus untuk menghasilkan gandum. Akibatnya setiap tahun kita harus mengimpor sekitar 12,5 juta ton pertahunnya (Kata Data.com). Capital flight dan tergerusnya cadangan devisa serta rentannya ketahanan pangan sangat ditentukan oleh mie instan.
Sudahkah kita dengan mengedepankan prinsip foresight analysis mengkaji dampak jangka panjang konsumsi mie instan ini? Bagaimana hubungannya dengan asupan gizi yang pada gilirannya akan memberikan kualitas manusia di masa depan? Bagaimana skenario cadangan sebagai bagian dari contingency plan jika terjadi embargo gandum misalnya? Adakah riset berkesinambungan tentang model pangan substitutif berbahan baku lokal yang akan dapat menghasilkan multiplier effect konstruktif bagi berbagai aspek ekonomi negara kita?
Padahal, kearifan lokal telah dipertontonkan secara arif oleh saudara-saudara kita yang secara kreatif membuat mie lethek berbahan dasar singkong. Demikian pula, ada banyak lagi inovasi pangan yang semestinya dapat menjadi bagian dari terbangunnya kesadaran akan fungsi strategis ketahanan bangsa. Tentu saja, Ini adalah PR besar bagi kita bersama. (Tauhid Nur Azhar)