Merenda Masyarakat tanpa Riba

Rasulullah saw bersabda, “Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya.” (HR. IbnuMajah, hadits No.2278 dan Sunan Abu Dawud, hadits No.3331; dari Abu Hurairah).

Lelah rasanya membincangkan hal ini. Tentang fenomena riba di masyarakat Indonesia yang sudah berurat akar. Ibarat membangun istana di atas pasir. Indah untuk dilihat dan diimpikan, namun sejatinya rapuh hingga tak banyak orang yang berniat membangunnya. Menarik untuk dibahas di berbagai seminar atau diskusi intelektual, tapi hanya segelintir individu atau kelompok yang berani secara tegas menolaknya dalam keseharian.

Seperti itu pula praktik riba di masyarakat. Mayoritas umat muslim di negeri ini mengetahui bahwa riba itu haram. Ayat-ayat Alquran secara gamblang menyatakan. Pun demikian hadis Nabi yang tanpa tedeng aling-aling menyebutkan riba sebagai praktik dengan kemudharatan besar, baik di dunia maupun di akhirat. Tetapi, kenyataan sebaliknya terjadi. Riba tumbuh subur bak jamur di musim penghujan.

Tidak hanya level individu yang menjalankannya (para rentenir/tengkulak), namun juga merambah hingga level organisasi atau lembaga. Keberadaan lembaga-lembaga keuangan/bank konvensional dan lembaga pembiayaan/leasing yang menawarkan kemudahan peminjaman tapi dengan bunga mencekik leher, adalah contoh yang nyata terlihat.

Apakah kondisi kekinian di masyarakat, seperti tergambar oleh ucapan Rasullullah saw dalam hadistnya pada awal tulisan ini? Bahwa riba begitu akrabnya dilakukan oleh masyarakat, sehingga mereka yang menolaknya pun tetap menjadi korban dari praktik haram tersebut? Yakni ketika fitnah riba begitu merajalela hingga nyaris tak ada individu yang bebas dari praktik riba? Jawabannya jelas TIDAK. Kita harus bersungguh-sungguh agar apa yang dinubuatkan oleh Rasulullah itu tidak terjadi pada saat ini. Caranya, kita sebagai umat Islam harus serta wajib menarik batas tegas untuk memisahkan praktik riba dan yang bukan riba (jual beli). Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah [2] ayat 275, “…Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”

Tentang Riba & Dalil yang Mengharamkan
Riba ternyata bukan hanya menjadi persoalan masyarakat Islam. Berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Menolak dan meyakini kerusakan yang dihasilkannya. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Persoalan riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, hingga Romawi. Bahkan kaum Kristen pun dari masa ke masa memiliki sikap kritis menolak riba.

Riba secara bahasa artinya tambahan, adapun secara linguistik diartikan tumbuh dan membesar. MUI sendiri dalam fatwanya pada tahun 2004 mendefinisikan riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan, yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya. Sederhananya, riba dipahami sebagai menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian. Bunga atau kelebihan pinjaman ini berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam.

Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan termasuk dosa besar. Apapun alasan dan kondisinya, pelaku riba atau mereka yang secara sadar terkait dengan riba (contohnya bekerja sebagai karyawan di bank konvensional/leasing), merunut apa yang dikatakan oleh Alquran, as-Sunnah, dan ijma’ para ulama, memikul dosa riba.

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS.al-Baqarah [2]: 275)

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (QS.al-Baqarah [2]: 276)

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257)

Dari Jabir radhiyallaahu ‘anhuiaberkata. “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598)

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu bahwaNabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37)

Dari Hanzhalah radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah saw bersabda, ”Satu dirham yang didapatkan dari transaksi riba lantas dimanfaatkan oleh seseorang dalam keadaan dia mengetahui bahwa itu berasal dari riba dosanya lebih ngeri dari pada berzina sebanyak tiga puluh enam kali.” (HR.Ahmad no.22008)

Cinta Butuh Pembuktian
Dengan berbagai argumen dan dalil yang telah dipaparkan, kiranya sudah lebih dari cukup bagi sebagai umat Islam untuk tidak terjebak riba. Terbius oleh berbagai ”bungkus” dan “kemasan” yang indah namun menipu mata. Saatnya cinta itu perlu pembuktian. Jika benar cinta Allah, maka akan menaati-Nya apapun risiko dan konsekuensi yang dihadapi. Meskipun itu berarti kemiskinan ada di hadapan mata. Bila betul hanya takut kepada Allah, pasti akan mengikatkan hati, pemikiran, ucapan dan perilaku hanya pada aturan Allah. Istiqamah menggenggam hokum syara-Nya.

Tinggalkanlah riba mulai saat ini. Memang sangat sulit mengingat sistem perekonomian Indonesia bahkan dunia sudah menjalankan riba secara massif dan sistemik. Perlu sebuah upaya terobosan dan keberanian untuk mendobrak itu semua. Dan sudah saatnya kita bahu-membahu merenda masyarakat tanpa riba.

Mulailah dari diri sendiri dan keluarga untuk meninggalkan dan menjauhi praktik riba apapun bentuknya. Lalu perlahan namun pasti (secara sistematis) menggalang kekuatan umat Islam untuk melawan praktik riba. Ada banyak cara yang dapat digagas dan dilakukan. Mulai dari secara konsisten menjalankan praktis bebas dari riba hingga membuat organisasi/lembaga keuangan (microfinance) yang menyediakan pinjaman tanpa riba. Semoga Allah SWT melindungi dan memberi kekuatan kepada kita semua. Amiin. (Suhendri Cahya Purnama)