Menyikapi Keinginan

Setiap orang dalam kehidupannya pasti selalu memiliki keinginan yang harapannya dapat terwujud. Akan tetapi mustahil jika seluruh keinginan kita harus dan akan terwujud, karena akan bertabrakan dengan keinginan orang lain. Misalkan, seseorang yang menginginkan dirinya menjadi pemimpin daerah atau gubernur, pasti keinginannya bertabrakan dengan keinginan orang lain, karena yang menginginkan menjadi gubernur tidak hanya satu orang, tetapi yang akan menjadi gubernur hanya satu orang, minimal dua orang dengan wakilnya.

Atau contoh lainnya misalkan, semua orang di dunia ini pasti menginginkan kesehatan, tidak ada orang yang ingin sakit. Tetapi ternyata misalkan Allah kabulkan seluruh manusia di dunia ini sehat semua tidak ada yang sakit, pasti akan terjadi masalah baru. Bagaimana dengan nasib para dokter, apotek, kampus-kampus kedokteran dan kesehatan, pasti itu semua tidak akan terberdayakan. Oleh karena itu bukan masalah, yang menjadi masalah itu salah menyikapi sehat dan salah menyikapi sakit. Tetapi bukan berarti juga kita tidak boleh meminta diberi kesehatan oleh Allah, karena justru sehat itu adalah kenikmatan kedua setelah nikmat iman. 

Lalu bagaimana kita harus berbuat atau bersikap terhadap keinginan yang kita harapkan terwujud? Selalu kaitkan keinginan kita dengan keridhaan Allah, apakah Allah ridha dengan keinginan yang kita harapkan. Atau dengan keinginan yang kita harapkan jika terwujud mampu untuk membuat kita dan orang lain semakin dekat dengan Allah. Yang terpenting adalah kita maksimalkan ikhtiar kita terhadap keinginan yang kita miliki, kemudian dibarengi dengan doa kepada Allah, sudah hanya sebatas itu saja.

Perkara setelah kita berikhtiar dan berdoa apakah Allah akan kabulkan atau tidak, itu bukan menjadi urusan kita. Karena boleh jadi keinginan yang kita harapkan belum terkabul karena masih ada maksiat yang kita lakukan sehingga ikhtiar dan doa kita belum Allah terima. Atau bahkan Allah mengetahui bahwa keinginan yang kita harapkan itu lebih baik tidak terwujud karena Allah telah siapkan hal lain yang lebih kita butuhkan.

وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّـهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).

Orang yang akan sengsara adalah ia yang tidak lurus niatnya terhadap keinginannya, kemudian ikhtiar yang dilakukan juga tidak maksimal, ditambah lagi ia tidak tawakal terhadap keputusan Allah. Mengapa orang yang seperti ini akan sengsara. Karena ia memiliki keinginan yang sangat besar terhadap sesuatu tetapi tujuan dari keinginannya boleh jadi tidak Allah ridhai, atau tidak ada kaitannya dengan ibadah. Kemudian upaya atau ikhtiar yang dilakukannya juga tidak maksimal baik itu dengan ikhtiar ibadah maupun dengan ikhtiar memohon kepada Allah Ta’ala. Kesengsaraannya juga akan bertambah karena jika keinginan yang ia harapkan tidak tercapai maka ia akan sangat kecewa, dan boleh jadi marah kepada orang lain dan juga kepada Allah Ta’ala. Merasa usahanya tidak diterima oleh Allah, padahal boleh jadi karena upaya yang dia lakukan belum maksimal dan hanya mementingkan diri sendiri.

Maka dengan keinginan yang kita miliki harus selalu kaitan dengan ibadah kepada Allah Ta’ala agar Allah jadikan itu sebagai jalan kita untuk dekat dengan-Nya. Kemudian maksimalkan ikhtiar kita, baik itu dengan ikhtiar mencapai keinginan tersebut maupun dengan ikhtiar ibadah kepada Allah, karena seseungguhnya segala sesuatu itu dari Allah maka mintalah kepada Allah. Yang terakhir adalah serahkan hasilnya kepada Allah, perkara keinginan kita akan Allah kabulkan atau tidak itu bukanlah menjadi urusan kita. Karena sesungguhnya Allahlah yang paling tahu dengan kebutuhan hambanya.