Menjauhi Budaya Ghasab Khas Daarut Tauhiid
Saat berkesempatan memasuki area asrama santri di Pesantren Daarut Tauhiid (DT), ada sebuah tulisan ‘unik’. Boleh jadi terasa asing bagi pembaca yang belum memahaminya. Tulisan tersebut berisi “AWAS GHASAB”, “WASPADA GHASAB”.
Hampir semua tulisan tersebut menunjukkan bahwa di Pesantren DT, ghasab adalah perilaku yang sangat dilarang khususnya bagi para santri. Pelakunya dianggap seperti penjahat, perilakunya sangat tercela.
Melakukan ghasab bagi santri DT adalah aib yang memalukan. Bagi mereka yang terbiasa melakukan ghasab sebelum ke DT, tentu bukan hal mudah mengubah kebiasaan tersebut. Butuh perjuangan dan di sanalah para santri tertantang untuk berubah menjadi pribadi lebih baik.
Pengertian Ghasab
Dalam al-Quran Allah SWT menyebutkan kata ghasab ketika menceritakan kisah antara Musa dan Khidr:
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
Artinya: “Perahu yang saya lubangi itu milik seorang yang miskin yang bekerja di laut. Aku melubanginya, karena di seberang sana ada raja yang mengambil semua perahu dengan cara merampas.” (QS. al-Kahfi [18]: 79).
Secara singkat ghasab bisa diartikan merampas. Fiqh Sunnah menyebutkan bahwa ghasab berarti mengambil hak orang lain dan menguasainya secara paksa. (Fiqh Sunnah, 3/248). Sedangkan menurut bahasa, ghasab berarti mengambil sesuatu secara paksa dan terang-terangan. Sedangkan menurut istilah, ghasab berarti menguasai harta (hak) orang lain dengan tanpa izin.
Ghasab dilakukan secara terang-terangan, hanya saja tanpa sepengetahuan pemiliknya. Berbeda dengan pencurian yang memang dilakukan secara diam-diam. Ghasab tidak harus berbentuk pada barang yang konkret, hal yang abstrak seperti kemanfaatan juga masuk di dalamnya. Mulai dari duduk di depan teras rumah orang lain tanpa izin, hingga bercermin di kaca spion motor milik orang lain.
Hal ini memang tidak mengurangi kualitas dan kuantitas barangnya secara langsung, tetapi telah mengambil manfaat dari barang yang dighasab. Karena sejatinya yang dimaksud dengan ghasab secara definitive yakni mengambil suatu barang tanpa izin dari pemilik barang.
Hukum Perilaku Ghasab
Menurut al-Quran dan beberapa Hadis serta pendapat ulama, perilaku ghasab hukumnya haram. Dalam kitab Kifayatul al-Akhyar, pekerjaan ghasab masuk pada salah satu dosa besar. Firman Allah SWT yang menjadi rujukannya yakni, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 188).
Imam at-Thabari dalam kitabnya (Jami’ul Bayan Fi tafsir Al-Qur’an Lith-thobari) menjelaskan bahwa maksud kata memakan dengan batil dari ayat tersebut adalah dengan cara memakan yang tidak diperbolehkan oleh Allah SWT. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ghasab (menggunakan milik orang lain tanpa izin) berdasarkan ayat tersebut, hukumnya haram dan sangat dilarang oleh Allah. Ghasab bisa berupa pakaian, sandal, bantal, gayung, payung, dan barang-barang lainnya, hukumnya sama tidak boleh.
Berdasarkan ayat tersebut jika dilihat dari kaca mata ushul fiqh, maka ada dua hal yang dapat disimpulkan. Pertama, larangan (nahyi) tersebut menunjukkan keharaman dari pekerjaan ghasab. Kedua, larangan tersebut mewajibkan untuk menjauhi perkara ghasab. (Ana)
ket: ilustrasi foto diambil saat sebelum pandemi