Menjaga Pendengaran
Telinga dengan fungsi pendengarannya termasuk salah satu nikmat terbesar dari Allah kepada manusia. Hadirnya pendengaran membuat kita bisa mengindra aneka jenis suara, mulai dari suara manusia: laki-laki atau perempuan, dewasa atau anak kecil atau bayi yang baru dilahirkan, beragam suara binatang embusan angin, dan aneka suara di alam semesta. Dengan normalnya fungsi pendengaran, hidup kita pun menjadi penuh warna.
Layaknya mata dengan fungsi penglihatannya, telinga dengan fungsi pendengarannya pun harus dijaga sedemikian rupa agar tidak membawa rnanusia pada kecelakaan. Bagaimana tidak, pendengaran termasuk gerbang bagi hadirnya informasi yang akan menentukan kualitas akhlak kita, baik ataukah buruk. Ini artinya, kita tidak boleh sembarangan mendengar. Kita harus sangat terampil dalam memilah dan memilih mana suara yang boleh masuk ke telinga dan mana yang tidak boleh.
Mengapa demikian? Semakin banyak input kebaikan yang kita terima melalui indra pendengaran, akan semakin baik pula hidup kita. Demikian pula sebaliknya, semakin banyak input keburukan yang masuk melalui indra pendengaran kita, akan semakin buruk pula kualitas kehidupan kita. Dengan kata lain, terlalu banyak mendengar keburukan, kata-kata kotor, perkataan yang melalaikan, atau ilmu-ilmu yang menyesatkan, akan sangat mudah memperkeruh dan mematikan hati.
Semakin sering kita mendengar maksiat, akan semakin terbiasa kita dengannya. Jika sudah terbiasa, pendengaran pun akan sulit mendengar kebaikan. Al-Quran menyebutnya sebagai “telinga yang tersumbat”.
“Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.” (QS Luqman, 31:7)
Di antara sejumlah perbuatan maksiat terkait fungsi pendengaran, ada satu yang sangat berbahaya dan banyak menimpa sebagian dari kita, yaitu ghibah. Berghibah adalah membicarakan keburukan orang lain. Perbuatan ghibah mencakup dua hal sekaligus, yaitu lisan dan pendengaran. Lisan bisa tergelincir dengan membuka aib orang lain. Adapun telinga bisa tergelincir dengan mendengarkan aib atau kejelekan orang lain, Itulah mengapa, berghibah dan mendengarkan ghibah lalu mengiyakan sama dosanya.
Lalu, apa itu ghibah secara definisi bahasa dan istilah? Ghibah berasal dari kata ghib yang bermakna “tidak tampak”. Sederhananya, ghibah adalah membicarakan orang lain dan seandainya orang yang dibicarakan tersebut mendengarnya,dia akan merasa tidak enak dan sakit hati.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Tahukah kalian apakah ghibah itu?”
Sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.”
Nabi saw. pun berkata, “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu! ”
Lalu Nabi saw. ditanya, “Bagaimana pendapat engkau jika itu memang benar ada padanya?” ‘
Beliau menjawab, “Kalau memang demikian, berarti engkau telah mengghibahinya. Namun, apabila yang engkau sebutkan tidak benar, itu berarti engkau telah berdusta atasnya.” (HR Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi)
Hal ini semakna dengan apa yang diungkapkan Ibnu Mas’ud ra., “Ghibah adalah engkau menyebutkan apa yang engkau ketahui pada saudaramu. Dan, apabila engkau mengatakan apa yang tidak ada pada dirinya berarti itu adalah kedustaan.”
Dari mana datangnya ghibah atau menggunjingkan orang lain? Sementara ulama menyebutkan kalau ghibah, baik disadari maupun tidak berawal dari merasa diri lebih sucidaripada orang lain. Perasaan ini kemudian diperturutkan sampai akhirnya merembet pada perilaku buruk lainnya, khususnya berprasangka buruk (su’uzhan) yang juga diperturutkan, kemudian berlanjut pada usaha untuk mencari-cari aib dan kekurangan orang yang disu’uzhani. Setelah itu, dia menceritakannya kepada orang lain.
Ada uraian menarik terkait hal ini sebagaimana diungkapkan Ibnul-Haj Al-Fasi Al-Maliki ruhimanullah (AIMadkhal, 3/69). Beliau mengatakan hal benkut ini.
Penyebab timbulnya ghibah adalah karena merasa diri suci dan ridha kepada diri. Engkau tidak akan merendahkan saudaramu kecuali ada keutamaan yang engkau anggap hadir pada dirimu (yang engkau anggap tidak terdapat pada diri saudaramu itu).
Dirimu hanya mengghibahinya dengan menyebutkan aneka keburukan yang engkau berlepas diri dari perkara-perkara tersebut. Padahal, engkau tidak menyebutkan aib-aibnya yang ada pada dirinya, kecuali aib-aib yang terdapat pada dirimu lebih banyak. Dan uniknya, ghibahmu itu tidaklah diterima (didengar dan disetujui) kecuali oleh orang-orang yang juga semisalmu.
Andai saia engkau berpikir bahwa aib yang ada pada dirimu lebih banyak, niscaya engkau tidak akan mempergunjingkan saudaramu.
Saudaraku, berhati-hatilah dari penyakit ghibah sebagaimana berhati-hatinya engkau dari malapetaka besar yang akan menimpamu. Sesungguhnya ghibah itu apabila dia datang menimpa seseorang dan mengakar di hati serta pemiliknya mengizinkan dirinya untuk membiarkan ghibah bersemayam dalam hatinya niscaya sang ghibah tidak akan ridha (rela) untuk tinggal sendirian di hatinya. Dia pun akanmemperluas tempat tinggal untuk saudara-saudara gh bah lainnya, yaitu namimah, al-baghyu, prasangka buruk, dusta, dan kesombongan.
Orang cerdas tidak akan membiarkan hal ini menimpa dirinya. Orang bijak pasti tidak akan ridha dengan keburukan semacam ini. Seorang wali Allah tidak akan membiarkan penyakit ghibah bercokol di dalam hatinya.
Karena besarnya kemudharatan yang diakibatkan oleh ghibah, Islam memandang ghibah sebagai perbuatan tercela. Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasajijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hujurat, 49:12)
Rasulullah saw. pun menjelaskan balasan bagi orang yang suka berghibah, “Ketika diangkat ke langit ( mi’raj), aku melewati suatu kaum yang berkuku tembaga yang mencakar wajah dan dada mereka. Aku bertanya, “Siapakah mereka itu, hai jibril? jibril menjawab, “Mereka itulah orang-orang yang selalu memakan daging-daging orang lain dan tenggelam dalam menodai kehormatan mereka.” (HR Abu Dawud dari Anas bin Malik)
Membebaskan diri dari jeratan ghibah bukanlah hal yang mudah. Agar bisa melakukannya dengan baik, selain memiliki ilmu, seseorang pun wajib memiliki iman yang kokoh. Apabila ilmu dan iman sudah bersatu, dia akan bisa melawan dorongan untuk membicarakan keburukan orang lain.
Lalu, bagaimana cara kita menjauhi perbuatan ghibah?
Pertama, berlindunglah kepada Allah Ta’ala. Jangan sekali-kali membuka peluang bagi kita untuk ikut campur dalam perbuatan ghibah.
Kedua, jauhilah tempat-tempat atau aktivitas yang akan mengondisikan kita untuk banyak berghibah.
Ketiga, apabila kita mendapati suatu “majelis ghibah” dan kita kesulitan untuk menghindarinya, berilah mereka peringatan akan bahaya dosa ghibah. Lakukanlah dengan ikhlas dan bijak. Hindari jangan sampai ada kesombongan. ]ika melakukan ini, berarti kita telah beramal saleh, amar makruf nahi mungkar.
Keempat, apabila kita terjebak untuk ikut berghibah, segeralah bertobat dan segera memohon maaf apabila memungkinkan. Namun, jangan terlalu blak-blakan karena dapat memicu terjadinya pertengkaran.
Saudaraku, nasihat ini sepertinya terasa ringan. Padahal, pada kenyataannya, dia sangat sulit untuk dipraktikkan. Maka, kuncinya ada pada hadirnya kesungguhan untuk menjaga diri dari perbuatan dosa. Kemudian, berusahalah untuk berlatih dengan sungguh-sungguh.
Berjuanglah untuk menjaga pendengaran kita dari mendengarkan hal-hal yang tidak pantas untuk didengar. ]auhilah lagu-lagu maksiat yang membuat kita terbuai dan lupa kepada Allah Swt. Gantilah nyanyian-nyanyian maksiat itu dengan ayat-ayat suci Al-Quran atau ilmu-ilmu yang bermanfaat dari para ulama. Atau, kalau kita belum sanggup meninggalkan musik dan nyanyian, pilihlah musik yang bisa mengingatkan kita kepada Allah dan tidak melalaikan.
Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah memperbanyak tobat dan istighfar. Mohonlah ampun kepada Allahkalau selama ini kita sering berghibah atau mendengarkan ghibah. Iringi keburukan yang pernah kita lakukan dengan melakukan amal-amal baik.
Saudaraku, selamat berjuang! Selamat bermujahadah untuk memelihara pendengaran agar terhindar perbuatan yang dimurkai Allah As-Sami. Mendengar harus lebih banyak daripada berbicara.
Allah Ta’ala menganugerahkan tujuh lubang di kepala: dua lubang telinga, dua di mata, dua lubang hidung, dan satu lubang mulut.
Mulut adalah lubang terbesar. Apa artinya? Berpikir harus lebih banyak daripada berbicara; enam input dengan satu output. Kumpulkan input melalui mata, telinga, dan pembau, lalu fokuskan untuk menghasilkan kata-kata berkualitas melalui mulut.
(Oleh : Ninih Muthmainnah)