Menjaga Lisan
Ada suatu cerita di mana seorang saleh diminta untuk memasak suatu makanan yang lezat oleh pemimpinnya. Orang saleh itu pun menuruti keinginan sang pemimpin dan segera mengantarkan pesanan kepadanya. Ternyata makanan tersebut sangat disukai oleh pemimpinnya karena kelezatan rasa. Kemudian pemimpin itu pun bertanya tentang bahan makanannya. Orang saleh itu menjelaskan bahwa makanan tersebut terbuat dari lidah.
Kemudian hari berkebalikan, justru pemimpinnya menyuruh orang saleh untuk membuat makanan yang rasanya tidak enak. Dia pun kembali ke rumah untuk memasak permintaan sang pemimpin. Begitu makanan tersebut siap, dia segera mengantarkannya ke hadapan pemimpin. Rupanya makanan tersebut memang sangat tidak enak rasanya. Sang pemimpin pun bertanya kepada orang saleh itu tentang bahan makanan yang dipakai. Ternyata jawabannya masih sama bahwa makanan tersebut juga terbuat dari lidah.
Dari kisah ini bisa kita pahami bahwa lidah yang tidak bertulang dan tidak berduri itu bisa membahayakan seseorang atau bisa juga menyelamatkan seseorang. Seseorang bisa terjerumus kepada permasalahan yang pelik disebabkan tidak mampu menjaga lisan. Seseorang bisa bermusuhan dengan sesamanya juga disebabkan karena lisannya. Seseorang bisa menyebabkan orang lain terluka disebabkan pula oleh lisannya. Semua itu terjadi disebabkan ketidakmampuan menjaga lisan. Seperti perkataan keji, fitnah, dusta, dan hal-hal jahat lainnya.
Sebaliknya pula seseorang bisa selamat dari segala hal sebagaimana disebutkan juga disebabkan lisannya. Yakni dikarenakan mampu menjaga lisan dengan baik. Orang yang bertakwa selalu berpikir terlebih dahulu sebelum melontarkan suatu perkataan, sehingga apa yang diucapkannya selalu tertata dengan baik. Jika demikian, maka orang-orang yang berada di sekitarnya pun akan merasa nyaman dan bisa mengambil manfaat.
Rasulullah saw bersabda, “Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya, dan seorang muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari).
Mulut itu seperti moncong teko yang mengeluarkan isi. Jika ingin tahu kualitas diri seseorang maka dengan mudah kita dapat melihatnya dari kata-kata yang keluar dari mulutnya. Nabi Muhammad termasuk orang yang jarang berbicara. Tapi sekali berbicara kata-katanya merupakan kebenaran. Beliau mengamalkan perintah Allah Ta’ala yang termaktub di dalam al-Quran. Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا ۙ ﴿الأحزاب : ۷۰
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS. al-Ahzab [33]: 70)
Kekuatan kata-kata Rasulullah berpengaruh kepada orang yang mendengarnya. Ketika mendengar Rasulullah saw berbicara, selalu timbul dalam diri para sahabat sebuah motivasi yang kuat untuk berbuat kebajikan. Pun dorongan untuk selalu menjaga perilaku agar selaras dengan ajaran beliau. Nabi Muhammad tidak banyak mengumbar kata-kata, meski sedikit kata-kata yang diucapkannya namun sungguh amat berkualitas.
Kualitas pribadi bisa terukur dari kualitas ucapan. Seseorang bisa menyandang predikat berkualitas tinggi karena dilihat dari caranya bertutur kata. Demikian juga dengan orang yang kualitasnya biasa-biasa saja. Demikian juga dengan orang yang kualitasnya rendah. Semoga kita diberikan kekuatan untuk senantiasa menjaga lisan. (KH. Abdullah Gymnastiar)