Menjadi Lebih Baik pada Muharam Ini
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hasyr [59]: 18).
Masa bergulir begitu cepat. Hari kemarin telah berganti dengan hari ini, dan akan terus begitu. Muharam kini menjelang, menandai awal dari berjuta asa baru. Meski idealnya, setiap diri mengupayakan perubahan pada setiap detik kehidupannya, namun tentu tidak salah menjadikan Muharam ini momentum perubahan diri menjadi lebih baik.
Maka, mulailah menghitung, menimbang kesalahan yang pernah dilakukan. Baik yang nyata terlihat orang lain, terlebih yang tersembunyi. Mungkin memang tidak mudah, terlebih bagi yang hatinya masih rapat terkunci. Namun, menyadari dan jujur pada diri bahwa kita memiliki kesalahan menandakan bahwa hati masih hidup, dan itulah gerbang perbaikan diri.
Introspeksi Diri
Ingatkah kita tentang kisah Nabi Yunus yang sempat marah kepada kaumnya dan meninggalkan mereka? Padahal Allah menyuruhnya berdakwah, mengingatkan kaumnya yang berlaku musyrik. Nabi Yunus yang merasa putus asa dan kesal, lalu pergi naik kapal.
Dalam pelayarannya, terjadi badai topan, dan orang-orang yang ada di kapal berseru, pastilah ada yang berbuat kesalahan hingga datang badai topan seperti ini. Nabi Yunus mengacungkan tangannya, ia sadar ialah yang telah berbuat salah, tidak menaati perintah Allah. Namun tidak ada yang percaya, dan begitu hingga berkali-kali. Akhirnya, sepakat untuk diundi dan memang nama Nabi Yunus yang keluar untuk dibuang ke laut.
Takdir Allah jualah, Nabi Yunus dilempar ke laut dan masuk ke perut ikan yang besar. Di tempat itu, dalam perut ikan yang gelap, dasar laut yang kelam, dan pada malam yang gulita, Nabi Yunus mengakui kesalahannya, bertobat memohon ampunan Allah. Berdoa sebagaimana yang sering dilantunkan dalam salat-salat kita. (QS. al-Anbiya’ [21]: 87).
Pasti ada hikmah luar biasa pada kisah yang diabadikan dalam Quran ini. Bahwa kesalahan tetap sebuah kesalahan. Ia harus diakui, meski hanya diketahui oleh diri dan Allah. Pilihan yang mungkin sulit dan enggan dilakoni sebagian orang. Karena bukankah tidak ada orang lain yang mengetahui dosa itu? Namun, jika bertanya pada nurani, kesalahan sekecil apa pun tetap saja akan ‘mengganjal’. Karena itu pun sunnatullah, tidak ada tempat bagi pelanggaran dan dosa.
Momentum Muharam
Mahasuci Allah yang telah menciptakan manusia lengkap dengan setiap ceritanya. Tidak ada satu pun manusia yang tidak berbuat dosa dan salah, karena itulah fitrah manusia. Dan, setiap kita pasti memiliki rahasia, yang tidak diketahui orang lain tentang kesalahan atau masa lalu yang pernah diperbuat. Maka, Muharam ini beranilah jujur pada diri, kepada Allah bahwa kita bertanggung jawab atas kesalahan dan dosa, serta siap memperbaiki diri untuk tidak mengulangi, dan menjadi muslim lebih baik.
Ada banyak sebab mengapa sulit untuk berani mengakui kesalahan. Bisa jadi karena kebodohan yang membutakan nurani. Seakan kita tidak mengerti apa yang diperbuat adalah dosa dan terlarang. Rasulullah pernah memberikan tolak ukur sederhana, dosa dan kesalahan adalah apa yang kita sembunyikan dalam hati, dan tidak ingin diketahui orang lain. Jika itu yang kini berlaku pada kita, maka langkah selanjutnya adalah kesungguhan mengakui dan tidak mengulanginya.
Kadang, prasangka baik orang lain pun bisa melenakan. Membuat lupa bahwa kita juga memiliki kesalahan yang tidak diketahui orang lain. Selama ini, Allah dengan Rahman-Nya masih menutupi aib dan dosa kita, sehingga orang lain menaruh hormat dan menghargai. Padahal, andai kita jujur, pastilah ada rahasia dosa yang harus diakui kepada Allah.
Begitu pun dengan berjenis penyakit hati yang sering tidak disadari melekat. Ini pun sebuah kesalahan yang berpotensi untuk menggunung jika tidak konsisten membasminya. Berlindunglah selalu kepada Allah dari penyakit hati. Sisakan waktu untuk mengintrospeksi kondisi hati kita hari ini. Jangan sampai iri dengki, riya, sum’ah, dan penyakit hati lainnya menjadi bahaya laten yang menjerumuskan kita. Na’uzubillah.
Jadi, meski tidak mudah belajarlah mengakui kesalahan diri, dan segera memohon ampunan-Nya. Hidup ini terlalu singkat untuk dilewatkan tanpa penyadaran yang sungguh-sungguh untuk menjadi lebih baik. Bukankah kita meyakini akan ada pembalasan kelak pada hari ketika tobat sudah tidak berguna? Maka, selagi desah nafas masih dikaruniakan Allah, jujurlah selalu dalam munajat kita kepada-Nya. Semoga Allah menggolongkan kita menjadi hamba-Nya yang senantiasa tidak pernah bosan memperbaiki diri. Insya Allah. (daaruttauhiid)