Mengelola Hati
Menilik yang terjadi di Daarut Tauhiid (DT), di mana setiap santri dan jamaah dituntut menjadi pribadi tangguh pantang mengeluh. Ini merupakan kata yang penuh makna, bukan sekadar slogan. Di mana setiap kita jangan sampai menjadikan keluh kesah sebagai bingkai mendramatisir masalah.
Karakter pantang mengeluh ini bisa bertumbuh dan berkembang bermuara dari hati. Yakni hati yang dijaga dan terjaga oleh Allah SWT.
Potensi Menerima dan Menolak
Setiap manusia yang diciptakan Allah memiliki potensi menerima dan menolak. Potensi menerima dan menolak merupakan sebuah keniscayaan pada diri manusia. Jika tidak memiliki potensi ini berarti ia telah kehilangan dirinya, kehilangan rahasia wujudnya. Ibarat pohon kering yang daunnya berguguran, tidak hijau dan tidak hidup. Ada juga ibarat pohon yang tidak berbuah, hidup tapi seperti mati sehingga tidak memiliki pengaruh dalam kehidupannya karena hanya dapat mengambil tetapi tidak dapat memberi.
Potensi menerima dan menolak sangat dipengaruhi oleh hati. Jika hatinya baik, maka ia akan cenderung menerima kebaikan dan menolak keburukan. Sebaliknya, jika hatinya buruk maka ia cenderung menerima keburukan dan menolak kebaikan.
Hati adalah raja. Ia pengendali setiap langkah manusia. Ia bersama akal berperan dalam menentukan setiap keputusan. Menjadi barometer buruk tidaknya manusia. Jika ia baik maka baiklah seluruh tubuh, bila ia buruk maka buruklah seluruh tubuh, demikian sabda Rasulullah saw mengenai hati.
Hati yang Hidup
Di antara umat Islam, ada beberapa orang biasa yang kedudukannya sangat istimewa di hadapan Allah. Bukan sosok ulama, bukan pula syuhada. Kedudukannya itu telah membuat syuhada, ulama, bahkan para nabi iri hati. Mereka dapat menyingkap rahasia kehidupan. Menyingkap rahasia Allah dalam dirinya sehingga ia dapat menggunakan potensi indra penglihatan, pendengaran, dan hati sesuai dengan kehendak Allah SWT. Ia mampu mengendalikan semua indranya untuk ketaatan kepada Allah. Ia gerakkan organ tubuh dan jiwanya dalam ketekunan dan kekhusyuan beribadah.
Dari dalam jiwanya lahir gelombang semangat. Ia hidupkan malam-malamnya dengan tahajud dan berdoa menyesali setiap kekeliruan. Siangnya ia tebarkan kasih sayang dan kebaikan. Ia seru manusia agar kembali ke jalan Allah. Ruh dan hatinya menjadi penarik setiap hati manusia yang kembali menemukan pintu hidayah. Hatinya menjadi magnet hati-hati yang lain. Hatinya telah mendapat petunjuk dan perlindungan dari sang Maha Pemberi Petunjuk.
Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَجِيبُوا۟ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ ٱلْمَرْءِ وَقَلْبِهِۦ وَأَنَّهُۥٓ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. al-Anfal [8]: 24).
Bingkai tersusun rapi yang bernama hati akan selaras dengan amal perbuatan kita. Seyogyanya, menjadikan hati ini sebagai pengendali diri dari setiap tingkah laku yang kita lakukan. (Eko)