Menerima Kritik dan Mengakui Kesalahan
Penulis pernah menerima nasehat tentang kepemimpinan. Nasehat tersebut kurang lebih adalah (1) “Seorang pemimpin tidak boleh terlihat tidak tahu ataupun salah meskipun memang demikian. Bila mengaku salah atau mengaku tidak tahu maka akan kehilangan wibawa. (2) Pemimpinlah yang harus punya ide, jangan sampai ide brilian justru dari bawahan…..”
Benarkah nasehat itu? … Baiklah kita kaji dengan meneladani kepemimpinan Rasulullah SAW dan para Khulafaur Rasyidin. Sirah mencatat bahwa Nabi Muhammad SAW pernah berbuat salah, contohnya adalah pada asbabun Nuzul surat Abasa’. Asbabun Nuzul surat itu karena Nabi tidak bermuka ramah terhadap Shahabat yang buta, karena tengah menyambut kaum Quraisy yang kaya raya. Kesalahan tersebut langsung diperbaiki oleh Allah SWT yang termaktub dalam surat Abasa.
Untuk Rasulullah SAW, memang ada kekhususan yang berbeda dengan kita manakala berbuat salah. Manakal Beliau berbuat salah, maka segera ada koreksi dari Allah SWT. Hal inilah yang menjadikan Nabi Muhammad SAW ma’sum (terbebas dari kesalahan). Selain itu Rasulullah SAW pernah mengoreksi pendapatnya, misalnya dalam dalam hal pengawinan kurma. Demikian pula Rasulullah banyak menerima ide brilian dari para Sahabatnya, misalnya ide parit di perang Khandaq, posisi pasukan yang dekat dengan sumber air saat perang badar, dan sebagainya.
Perhatikanlah teladan dari Umar Bin Khatab, seorang khulafaur Rasyidin yang dikenal berperangi keras. Sejarah mencatat ketika Umar mengumpulkan wanita-wanita karena pada saat itu banyak laki-laki bujangan yang sudah tua dan belum beristri. Ternyata sebabnya adalah pada saat itu mahar untuk menikahi wanita terlalu mahal. Umar mengatakan, “Wahai para wanita, kalian jangan membuat mahar yang mahal-mahal.” Mendengar itu, seorang wanita langsung memprotes sambil membacakan surat an-Nisa : 20, seraya menyambungnya dengan pernyataan, “Saya tidak setuju kepada kebijakan Anda.” Saat itu juga Umar menyesali, “Umar salah dan wanita itu benar.”
Apakah dengan teladan-teladan tadi wibawa Rasul saw dan Umar kemudian turun? Ternyata tidak, bahkan sebaliknya. Dengan sikap mereka yang terbuka terhadap kritik dan saran bawahannya wibawa mereka justru kian bertambah.
Wibawa seorang pemimpin justru akan turun manakala ia bersikukuh terhadap pendapatanya, padahal ia salah sedangkan bawahannya benar. Selain masalah wibawa, pemimpin yang memperhatikan masukan dan kritik dari bawahannya akan menciptakan suasana kerja yang kondusif untuk tumbuhnya kreativitas dan prestasi.
Seseorang diberi amanah sebagai pemimpin tentu karena ia memiliki kelebihan,namun bukan berarti ia tidak memiliki kelemahan. Sebagai manusia, tentu memiliki kelemahan. Seorang pemimpin tidak akan hilang wibawanya karena mengakui bahwa ia salah.
Tidak setiap ktirik dan saran dari bawahan diterima, karena bawahan pun adalah manusia yang tidak luput pula dari kesalahan. Namun bukan masalah menerima atau tidaknya tetapi yang terpenting adalah sikap terhadap hal itu. Merupakan hal yang salah bila sikapnya adalah apriori, yakni langsung penolakan tanpa pertimbangan. Sikap yang baik manakala menerima ktirik adalah menerima dulu tanpa memberikan reaksi dan mengucapkan terima kasih kepada yang manyampaikannya. Mengapa harus menerima dulu? Karena lazimnya manusia, ketika menerima kritik akan segera memberikan “perlawanan.” Mungkin bila ada jeda antara penyampaian kritik, fikiran kita jernih dan mampu menimbang dengan baik, apakah benar yang dikritikannya atau tidak.
Proses keterbukaan bukannya dihalangi tetapi harus dimanage dengan baik. Misalnya dengan membuat kotak pos pengaduan ataupun kritik. Dengan sistem jaringan komputer saat ini, bisa saja seorang pempimpin membuat folder khusus untuk masukan dan kritikan. Dengan mekanisme ini diharapkan seluruh bawahan terbuka menyampaikan kritik tanpa malu ataupun takut. Cara lain memanage hal ini adalah dengan membuat waktu khusus untuk memberikan kritikan kepada atasan. Misalnya sebulan sekali, atasan tidak boleh menyanggah dan cukup mendengar, sementara bawahan boleh bicara apa saja, termasuk mengkritik atasan.
Dengan adanya mekanisme yang terbuka dan disepakati kedua belah pihak, maka proses kritik mengkritik menjadi sehat dan konstruktif. Lain halnya kalau itu tidak dimanage dengan baik, maka dapat menjadi kontra produktif.
Dengan terbuka terhadap kritik, serta berani mengakui kesalahan maka terbukalah perbaikan pada diri seorang pemimpin. Perbaikan akan optimal bila mengetahui di mana kesalahannya, dan salah satunya adalah dengan adanya kritik dari orang lain. Yang terpenting bukanlah berbuat salah atau tidak, tetapi bagaimana sikap atas perbuatan salah itu,yakni segera mengakui dan segera memperbaiki. (Abu Ihkam)