Menerapkan Konsep Tawakal dalam Islamic Financial Planning
Perencanaan keuangan tanpa penerapan ibarat ilmu tanpa amal. Pentingnya merencanakan keuangan sesuai ajaran Islam sangat diperlukan terkait maraknya pola hidup konsumtif saat ini. Tidak sedikit umat Islam, khususnya para perempuan sebagai bendahara keluarga membeli barang bukan karena butuh tapi lebih karena ingin.
Membeli barang-barang bukan karena sangat memerlukan barang tersebut, melainkan karena diskon, gengsi, mengikuti trend, dan lainnya. Pengeluaran pun menjadi tidak terkontrol, sehingga mengabaikan kewajiban zakat penghasilan yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim saat penghasilan telah mencapai nishab (batas nilai wajib zakat). Kemudian tanpa disadari telah menerapkan pola hidup boros.
Allah SWT berfirman:
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
إِنَّ ٱلْمُبَذِّرِينَ كَانُوٓا۟ إِخْوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِ ۖ وَكَانَ ٱلشَّيْطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورًا
Artinya: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya, pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan; dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. al-Isra [17]: 26-27).
Tawakal Pembuka Pintu Rezeki
Konsep tawakal yang benar yakni berikhtiar maksimal, dilanjutkan dengan berdoa dan menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT sesuai firman-Nya, “Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. ath-Thalaq [65]: 3).
Rasulullah saw pun bersabda, “Sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Allah memberimu rezeki.” (HR. Ahmad).
Dengan dasar keimanan, berdasarkan firman Allah SWT dan sabda Rasulullah saw tersebut kita harus meyakini tawakal adalah salah satu pembuka pintu rezeki. Secara logika sederhana, orang yang bertawakal akan fokus dan berusaha maksimal pada aspek lazim yang dapat dilakukan. Contoh, mengunci pintu adalah hal lazim yang bisa dilakukan oleh siapa pun untuk menghindari pencuri masuk rumah, tetapi tidak tidur semalaman untuk menjaga agar rumah tidak kemasukan pencuri adalah di luar kemampuan yang lazim dilakukan manusia.
Mengatur keuangan merupakan proses awal tawakal, setelah berikhtiar maksimal dengan membuat perencanaan atau mengatur keuangan, kemudian kita menyerahkannya kepada Allah SWT. Dengan ikhtiar maksimal kita tidak akan pernah rugi, meskipun hasilnya tidak sesuai yang kita harapkan.
Contoh kita telah berikhtiar maksimal, rajin mengatur keuangan dengan menabung untuk membeli rumah. Tetapi ternyata hingga waktu yang telah ditargetkan, tiba-tiba uang tersebut harus terpakai untuk pengobatan anggota keluarga. Kita tak perlu kecewa atas keinginan yang tidak tercapai. Justru kita harus bersyukur dengan menabung kita bisa membantu anggota keluarga dari kesusahan.
Dengan demikian ikhtiar maksimal tidak akan pernah rugi, meskipun manfaat langsungnya bukan kita sendiri yang menerima. Tetapi paling tidak dengan ikhtiar maksimal dengan niat karena Allah SWT akan menerima pahala dan balasan dari-Nya.
Tawakal Bentuk Syukur
Membuat perencanaan atau mengatur keuangan/harta yang Allah titipkan pada kita dengan baik, bukanlah karena kita tidak percaya kepada Allah SWT sebagai Maha Pemberi Rezeki. Justru atas dasar kepercayaan itulah kita mengelola keuangan yang merupakan rezeki pemberian Allah.
Mengelola keuangan adalah tanggung jawab kita atas amanah dari Allah. Rezeki datangnya dari Allah, sebagai bentuk rasa syukur kita yakni mengelolanya dengan baik sehingga manfaatnya optimal. Sebaliknya bila keuangan atau harta kita dikelola asal-asalan tanpa pengelolaan yang baik akan menjadi bentuk tidak amanah dan tidak bersyukurnya kita pada Allah SWT. (Ana)