Menemukan Ketenangan Batin (bagian 1)
Dalam hadis riwayat Thabrani dikisahkan, bahwa Muadz bin Jabal pernah mengeluhkan masalah utang yang menimpanya. Nabi memberikan saran kepadanya agar membaca surat Ali Imran ayat 26-27. Selang beberapa lama datang lagi kepada Nabi untuk memberitahukan bahwa utangnya sudah terlunasi.
Hadis tersebut memberi gambaran kepada kita bahwa menggantungkan segala permasalahan kehidupan hendaklah kepada Allah, medianya adalah dengan amal shaleh, salah satunya dengan membaca Al-Quran, termasuk ingin mendapatkan kebahagiaan atau ketenangan batin.
Namun, tak sedikit orang mencari kebahagiaan dengan caranya sendiri, tidak memperdulikan baik buruknya, halal haramnya atau merugikan dan tidaknya bagi orang lain. Yang penting kebahagiaan atau kesenangan dapat diraihnya. Orang yang demikian pada hakikatnya ingin mendapatkan cahaya dikegelapan atau ingin mendapatkan ketenangan dalam lumpur kegelisahan. Padahal, sebenarnya sumber kebahagiaan adalah mengembalikan segala permasalahan kehidupan kepada Dzat Pemilik kebahagiaan, Dia lah Allah SWT. Menurut hadis riwayat Ibnu Mas`ud, untuk meraih ketangan batin ada tiga cara yaitu :
Pertama, membaca Al-Quran. Al-Quran adalah nur (cahaya), hudan (petunjuk), ruh (memberikan ruh) dan berbagai nama lain yang disebutkan dalam Al-Quran. Orang yang membaca Al-Quran pada hakikatnya dia tengah memberikan cahaya kepada dirinya dari kegelapan nuraninya. Juga akan membimbingnya karena dia adalah hudan dan sebagai ruh dalam kehidupan ruhani.
Kalau Al-Quran tidak ada dalam diri kita maka hati kita akan berkarat seperti besi yang dibiarkan begitu saja tidak terpelihara dari hujan dan panas. Demikian pula dengan nurani seseorang. Dan tatkala berkarat begitulah harus dibersihkan dengan Al-Quran. Agar cahaya dan ruhnya semakin terasa maka paling tidak ada empat langkah yang harus ditempuh untuk menghidupkan hati atau nurani yang gersang itu, pertama membacanya. Nabi saw bersabda: “Bacalah Al-Quran, karena dia akan datang pada hari kiamat memberikan syafaat kepada yang membacanya.” (HR. Muslim)
Kedua, memahaminya. Ketika turun surat Ali Imran ayat 190-191 yang berkaitan dengan berdzikir dan berfikir, Nabi saw bersabda: “Celakalah orang yang membaca ayat ini tetapi tidak menafakurinya (merenunginya).” (HR. Bukhori)
Ketiga mengamalkannya. Allah SWT. berfirman: “Demi masa, sesungguhnya manusia itu merugi, kecuali orang yang beriman dan beramal shaleh, serta saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran.” QS. Al-Ashr :1-3. dan keempat menyampaikannya. “Dialah Allah yang telah mewajibkan kepadamu (Muhammad) Al-Quran dan akan mengembalikanmu ketempat kembali…” (QA. al-Qoshos, 85)
Kedua, hadir di majlis ta`lim. Ketika kita menemukan dua majelis yang bersamaan antara majlis ilmu dan majlis dzikir, kita bingung mana yang harus kita ambil Siti Aisyah mengatakan: “Ambilah majelis ilmu, karena bagaimana seseorang dapat mengetahui hakikat dzikir kalau tidak berilmu.” Dan para malaikat turun dari arasy untuk menjumpai mereka yang ada di majelis dzikir atau ilmu, kemudian mereka berdoa agar mereka diampuni dan disayangi Allah. Pantas kalau orang yang hadis di majlis ilmu akan menemukan ketenangan batin karena dihadiri malaikat dan sekaligus mendoakannya.
Selanjutnya Nabi mengatakan ada empat kelompok orang yang akan mendapatkan pahala pada saat hadir di majelis ilmu, yaitu pertama al-`alim artinya orang yang menyampaikan ilmu (narasumbernya), kedua as-sail, yaitu orang yang bertanya tentang masalah yang tidak difahaminya, dengan tidak bermaksud untuk menjatuhkan atau memperolok-oloknya. Ketiga al-mustami` artinya orang yang menyimak atau mendengar setiap uraian narasumber, tanpa memperdulikan siapa tetapi apa yang disampaikannya. Keempat al-muhib artinya mereka yang mencintainya, bentuknya dapat berupa menyiapkan fasilitas atau apa yang yang membuat terselenggara atau semakin nyamannya majelis ta`lim tersebut.
Nabi saw bersabda, “Barang siapa yang mempermudah jalan mencari ilmu maka Allah akan mempermudah kepadanya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Kalau Nabi saw membimbing kita agar berdoa, “Allahumma inna nas aluka ridhoka wal jannah wa na`udzubika min sakhotika wannar,” artinya “Ya Allah kami mohon kepada-Mu keridhoan-Mu dan surga dan kami berlindung kepada-Mu dari kemurkaan-Mu dan neraka.” Maka realisasi dari permohonan itu adalah menuntut ilmu. Karena dengan menuntut ilmu seolah-olah kita sedang mengendarai kendaraan yang akan mengantarkan diri kita menuju keridhoan dan surga-Nya. Dengan ilmu seseorang akan mengenal halal-haram, hak-batil, benar-salah dan itulah cahaya penerang dari gulita hidup dan kehidupan kita. Saking mulianya ilmu sampai Nabi SAW. menggambarkan betapa seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini, termasuk ikan di lautan dan semut dalam lobangnya menyampaikan salawat kepada para penuntut ilmu. (bersambung) (KH. Drs. Muchtar Adam)