Meneladani Ashabul Kahfi
Ashabul Kahfi adalah anak-anak dari penguasa dan tokoh pada masa lalu. Telah disebutkan para ulama tafsir baik dari generasi salaf maupun kalaf, kalau di suatu hari ketika kaumnya sedang merayakan hari besar keagamaan, mereka pergi meninggalkan kaumnya yang berkumpul di pusat kota setahun sekali itu.
Kalangan pemuda ini lebih memilih menyingkir ketimbang mengikuti ajaran kaumnya. Kaumnya itu menyembah berhala dan menyembelih bintang ternak sebagai persembahan untuk berhala. Tersebutlah Dikyanus, seorang raja yang kejam dan keji yang memerintahkan perilaku tersebut.
Ketika rakyatnya berkumpul untuk merayakan perilaku tersebut, keluarlah para pemuda itu bersama keluarga dan kaumnya. Satu persatu dari mereka meninggalkan tempat tersebut karena menolak bersujud kepada berhala. Orang yang pertama di antara mereka duduk di bawah pohon rindang. Satu lagi ikut duduk di sana dan selanjutnya beberapa orang mulai berdatangan dan menempati tempat tersebut. Mereka belum saling mengenal, namun hati mereka yang beriman membuat mereka dipertemukan.
Menurut hadis muallaq yang diriwayatkan oleh Iman Bukhari dari Yahya bin Sa’id dari Amrah dari Aisyah ra, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Ruh-ruh itu berbaris bagaikan tentara. Siapa yang memercayainya, ia selamat dan siapa yang mengingkarinya ia celaka.” (Fathul Bari, 6:469).
Artinya setiap dari mereka bermaksud menyembunyikan keyakinannya sendiri karena takut terhadap orang di sekitar. Mereka tidak tahu bahwa orang-orang di sekitarnya itu pun satu keyakinan dengan dirinya. Sampai salah seorang dari mereka berkata, “Demi Allah, ketahuilah wahai kaumku, sesungguhnya Ia tidak mengeluarkan kalian dari kaum kalian dan mengasingkan kalian dari mereka kecuali satu hal. Lihatlah masing-masing kepada hal itu.” Pernyataan ini menuai respon dari orang-orang di sekitarnya yang menjadikan mereka menjadi satu langkah hanya beribadah kepada Allah.
Tidak lama kaumnya melihat dan mengadukan peristiwa ini kepada raja mereka. Kaum mukmin itu pun dipanggil dan diinterogasi Raja Dykianus. Mereka menjawab semua pertanyaan itu dengan kebenaran dan menyeru rajanya untuk beriman kepada Allah. Namun raja menolak serta murka. Ia malah memerintahkan kaum yang berseberangan dengannya itu, membuka pakaian sebagai tanda tidak diakuinya pemuda-pemuda itu di antara kaumnya. Allah lantas memberi kesempatan mereka untuk berlari menyelamatkan diri dan agama mereka dari fitnah.
Salah seorang dari mereka lantas meninggalkan kaumnya dengan bersembunyi di sebuah gua. Lantas Allah menutup pendengaran mereka sampai beberapa tahun untuk menyelamatkan mereka dari situasi dan kondisi yang mendesak. Allah telah menyediakan mereka tempat yang layak, dengan sirkulasi udara yang baik, cahaya matahari yang bagus, dan terhindar dari kegelapan. Masa-masa berlalu sementara mereka masih tertidur di dalam gua. Ketika kehidupan di luar sana telah berganti, Allah menghendaki mereka untuk tetap hidup.
Ketika Islam telah berjaya dan situasi dan kondisi telah berubah ke arah yang lebih baik, mereka pun dibangunkan Allah dari tidur yang sangat panjang selama 300 tahun lebih. Ketika mereka merasa lapar, salah seorang dari mereka keluar mencari makanan dengan simpanan uang. Kaumnya juga berkata untuk tetap berperilaku lemah lembut di dunia luar dan tetap merahasiakan persembunyian mereka. Sebab dalam bayangan mereka saat itu, masa belum berganti dan kehidupan belum menuju ke arah yang lebih baik.
Betapa Allah telah menyelamatkan mereka dengan kembali meniupkan mereka ruh setelah beratus-ratus tahun lamanya mereka berada dalam tidur panjang. Dari riwayat tersebut hendaklah manusia menyadari hikmah paling besar di mana Allah telah menentukan kehidupan setelah kematian.
Kisah Ashabul Kahfi selalu menjadi contoh teladan dalam kehidupan manusia serta menjadi saksi kebenaran akidah dalam masyarakat mana pun. Dalam kondisi kuat, dukungan manusia akan akidah itu sangat besar. Kisah ini menjadi contoh yang sangat jelas dan tercermin dari para pemuda yang beriman itu. (daaruttauhiid)