Mendidik Anak dengan 3C
Tiada yang paling membahagiakan sepasang suami istri selain dikaruniai keturunan. Inilah hadiah terindah dari Zat Yang Mahakuasa. Hadirnya si buah hati menjadi pertanda kalau Allah Ta’ala memercayai mereka untuk mengemban amanah sebagai orangtua. Terungkap dalam Al-Quran, “Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikan kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” ( QS Al-Furqan, 25:74)
Maka Saudaraku, bertobatlah kepada Allah Ta’ala apabila kita belum optimal dalam mendidik atau menyia-nyiakan mereka. Bagaimana tidak, pada saat bersamaan ada banyak pasangan yang amat mendambakan kehadiran anak dalam biduk rumah tangganya. Siang malam mereka berdoa agar dikaruniai momongan, berikhtiar ke sana kemari agar sang istri bisa hamil dan melahirkan. Maka, sangat naif kalau kita sampai tidak mensyukuri kehadiran mereka.
Saudaraku, anak adalah amanah yang harus dididik agar sesuai dengan tujuan penciptaan mereka. Terungkap dalam Al-Quran, “Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai AlIah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahr’im, 66:6)
Inilah tugas maha berat yang diemban orangtua. Siapapun orangnya, selama menyandang status sebagai orangtua, dia harus memahami bahwa mendidik anak tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mendidik anak tidak cukup sekadar teori tanpa terjun langsung untuk mengamalkannya. Mendidik anak pun memerlukan keseriusan dan tanggungjawab. Dan, ada hal yang sering kali dilupakan orangtua. Mendidik anak pada hakikatnya adalah mendidik diri sendiri, yaitu bagaimana kita bisa sabar dan tangguh dalam merawat amanah dari Allah Ta’ala. Tidak mungkin kita bisa mendidik anak menjadi ahli ibadah apabila kita sendiri malas beribadah.
Maka, berusahalah untuk menjadi orangtua yang Optimis, pantang menyerah, dan tidak lemah. Ada contoh sederhananya. Seorang ibu mengajak anaknya untuk shalat. Kemudian, anaknya tidak mau. Lalu ibu tersebut mengatakan, ”Yaaaaah, sudahlaah, terserah kamu. Ibu bosan nyuruh kamu. Tidak nurut terus!” Apabila pernyataan ini keluar dari mulut kita, berarti kita termasuk orangtua yang lemah. Ini tidak boleh dibiarkan. Orangtua harus berusaha sekuat tenaga agar mampu menjadikan anaknya sosok yang taat menunaikan shalat.
Pada prinsipnya, dan ini sesuai pengalaman, dalam mendidik anak, kita dapat menggunakan rumus 3C.
C yang pertama adalah CONTOH. Keteladanan atau contoh dari orangtua akan sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian anak. Saya teringat sebuah keluarga Yang berhasil mendidik anak-anaknya. Di keluarga ini, anaknya yang berusia tiga tahun sudah hafal Al-Quran juz 30 (Juz A’mma) dengan lancar walau belum sempurna melafalkan huruf demi huruf. Kemudiaan, setelah anak itu berusia 15 tahun (sekolah di SMA), dia telah menghafal Seluruh ayat Al-Quran, yaitu 30 juz. Adapun kakaknya yang masih kuliah di Fakultas Kedokteran sudah hafal 18 juz.
Apa kunci keberhasilan mendidik anak dalam keluarga tersebut? Dengan memohon pertolongan Allah Ta’ala, merekamembimbing, mendidik, memberi teladan yang baik dengan penuh kesabaran dan keuletan sejak anak-anak mereka kecil.
Anak (terutama yang masih kecil) secara otomatis akan melihat, mempelajari, dan meniru kebiasaan orangtuanya. Apabila orangtuanya sering membaca Al-Quran, anak pun kemungkinan besar akan tertarik untuk membaca Al-Quran.
Mendidik anak dengan kata-kata memang baik. Namun, contoh konkret yang dilakukan oleh orangtua jauh lebih baik dan lebih efektif daripada sekadar kata-kata. Contohnya, ketika orangtua mengatakan, ”Kamu harus ngaji!” atau ”kamu harus disiplin!”sedangkan pada saat yang sama ibunya jarang mengaji dan lebih sering menonton televisi, dapat dipastikan anak akan “bingung” sendiri. Dia akan lebih suka mengikuti apa yang dilakukan orangtua daripada mengikuti apa yang diperintahkannya. Ini bukan berarti bahwa nasihat dengan kata-kata itu tidak penting. Hal yang paling. tepat adalah menasihati sambil memberi contoh yang baik kepada anak-anak.
Di sini, dalam memberi keteladanan, orangtua pun harus memiliki ilmu. Tanpa ilmu, keteladanan kita bisa bermasalah. Orangtua sering merasa sudah memberi teladan yang baik kepada anak-anaknya, padahal keteladanan yang ditampilkan keliru. Lalu, ilmu apa saja yang wajib dimiliki orangtua? Yang paling utama adalah ilmu agama, setelah itu baru ilmu-ilmu pendukung, semisal ilmu kesehatan, ilmu psikologi dan perkembangan anak, dan lainnya. Memberi nasihat dan menampakkan keteladan dengan landasan ilmu dipastikan akan lebih dahsyat pengaruhnya dari sekadar menasihati dan memberi teladan tanpa ilmu.
C yang kedua adalah CINTA. Mendidik anak harus disertai cinta dan kasih sayang. Anak bukanlah boneka atau robot. Dia adalah sosok yang memiliki hati dan akalPikiran. Dan, semua itu hanya bisa disentuh dengan cinta. Bukankah hati itu akan tersentuh dengan bahasa hati lagi?
Maka, tugas orangtua bukan sekadar mengenyangkan perut anak dengan makanan bergizi, memberinya pakaian dan uang jajan, melainkan juga mengisi hatinya dengan kasih sayang. Betapa banyak ibu-ibu dengan karier mentereng harus menerima kenyataan pahit yang tidak bisa diobati dengan limpahan uang. Bagaimana tidak, anaknya lebih sayang kepada pembantu di rumah daripada kepada dirinya. Mengapa? Sebab, dia sibuk untuk memenuhi semua kebutuhan fisik sang anak: pakaian bagus, kendaraan bagus, sekolah favorit, jalan-jalan ke luar negeri, dan sejenisnya. Dan, pada saat yang sama dia gagal memenuhi kebutuhan anaknya akan kasih sayang, kedekatan, belaian, waktu yang lapang untuk curhat atau sekadar membantu mengerjakan PR. Adapun si Bibi, dia mampu memenuhi kebutuhan si anak akan cinta, kasih sayang, dan perhatian.
C yang ketiga adalah COMMUNICATION atau komunikasi. Komunikasi ini terkait erat dengan cinta, sebagai hadirnya rasa tanggung jawab dan harapan agar anak kita selamat dunia dan akhirat. Tanggung jawab kepada siapa? Tentu saja, tanggung jawab kepada Allah; Anak adalah amanah yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Apabila hatinya penuh cinta, komunikasi dengan anak pun anak menjadi komunikasi yang dibimbing Allah. Sebagai akibatnya, bahasa yang disampaikan kepada anak pun, baik bahasa verbal (lisan) maupun bahasa nonverbal (non lisan), pasti akan penuh dengan kebaikan, jauh dari merendahkan, tidak kasar, dan terjaga dari sesuatu yang tidak pantas diucapkan.
Saudaraku, ketiga hal ini adalah satu paket yang tidak terpisahkan. Tidak ada teladan kebaikan apabila tidak ada cinta. Dan, tidak dikatakan cinta apabila tidak disertaidengan komunikasi yang baik. Semoga Allah menguatkan kita menjadi sosok orangtua yang mampu menjaga amanah terbesar dari-Nya, yaitu anak-anak kita.
(Oleh : Ninih Muthmainnah)