Menanti Waktu Salat di Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya
Apabila tidak terdengar suara azan di setiap waktu salat, niscaya banyak yang tidak mengira jika bangunan tersebut adalah tempat ibadah umat Islam. Masjid Muhammad Cheng Hoo di Surabaya ini, memang memiliki tampilan arsitektur yang unik. Bahkan banyak yang terkecoh dan mengira masjid tersebut adalah kelenteng atau pagoda, tempat ibadahnya umat Buddha.
Tidak seperti arsitektur masjid pada umumnya, bangunan yang didirikan di lahan seluas 3.070 m2 tersebut, memang memadukan keindahan arsitektur gaya Tiongkok dan Arab. Hasilnya, keindahan yang memanjakan mata menyatu dengan kesyahduan masjid sebagai tempat bermunajat kepada-Nya.
Chen Hoo, Duta Besar Tiongkok
Sejak mulai dibangun pada Oktober 2001 dan kemudian selesai setahun kemudian, masjid yang terletak di Jalan Gading, sekitar 1 km arah utara dari Gedung Balaikota Surabaya ini, didedikasikan untuk menghormati tokoh dari tanah Tiongkok, Cheng Hoo yang pernah datang ke Nusantara pada awal abad ke-15 M. Nah, Surabaya pada masa itu menjadi salah satu kota yang didatangi Cheng Hoo, yang kemudian lebih dikenal sebagai Laksamana Cheng Hoo dengan ribuan armada lautnya.
Kedatangan Cheng Hoo ke Nusantara bukan bertujuan ekspansi atau penaklukan, tapi membawa titah dari Kaisar Tiongkok (Zhu Di) untuk membawa misi politik dan ekonomi. Boleh dikatakan Cheng Hoo mengemban amanat sebagai duta besar Tiongkok, alih-alih sebagai panglima perang.
Kehadiran Cheng Hoo pun mendapat sambutan positif dari berbagai penguasa yang ada di Nusantara pada saat itu. Seperti ketika Cheng Hoo singgah di Kesultanan Samudra Pasai, ia diterima dengan tangan terbuka oleh Sultan Zainal Abidin Bahian Syah. Apalagi Cheng Hoo merupakan pemeluk Islam yang taat. Pun halnya ketika Cheng Hoo mampir di Palembang. Ia tidak hanya disambut suka cita, tapi juga diperbolehkan membentuk komunitas muslim Tionghoa pertama di Nusantara. Izin ini diberikan atas bantuan Cheng Hoo yang berhasil menumpas perampok Hokkian yang kerap meresahkan masyarakat Palembang.
Sebelum mendarat ke Surabaya, Laksamana Cheng Hoo beserta armadanya terlebih dahulu singgah di beberapa kota besar di pesisir utara Jawa, seperti Cirebon, Semarang, Tuban, dan Gresik. Kota-kota ini memang dikenal sebagai pusat perdagangan maritim internasional, sehingga banyak pedagang dari dalam maupun luar Nusantara yang berlabuh. Kapal-kapal dagang beragam ukuran (kecil maupun besar) selalu memenuhinya setiap waktu.
Di setiap kota yang dikunjungi Cheng Hoo, sang laksamana tak hanya melakukan misi diplomatik dan membuka hubungan dagang, tapi Cheng Hoo juga menebar nilai-nilai dari keyakinan (Islam) yang ia anut. Meski sebagian besar awak kapalnya adalah penganut Buddha dan Tao, pun dengan beberapa kota yang ia singgahi tidak semuanya merupakan kota Islam, tapi Cheng Hoo mampu menyelaraskan pesan dakwahnya dengan budaya setempat.
Tidak hanya mampu memimpin armadanya dengan solid, tercatat sepanjang tujuh kali ekspedisinya ke Nusantara, tak satu kali pun kehadiran Cheng Hoo memantik konflik dengan penduduk yang ia datangi. Bahkan sebaliknya, Cheng Hoo menjadi simbol keindahan Islam yang membawa misi rahmatan lil ‘alamin (kedamaian bagi seluruh alam). Pesan ini terus bergaung hingga kini, beratus tahun kemudian.
Semangat Chen Hoo
Muhibah (perjalanan) Cheng Hoo layak dikenang dengan tinta emas dalam sejarah. Walau namanya kalah populer dengan pelaut ulung dari Eropa seperti Vasco da Gama, Christopher Colombus, Bartolemeus Dias, atau Marco Polo, tapi sejatinya nama Cheng Hoo jauh lebih melegenda. Mengapa? Karena selain jumlah armadanya yang sangat besar setiap kali ia melakukan perjalanan (ratusan kapal laut dengan puluhan ribu armadanya), Cheng Hoo juga membawa misi mulia di setiap daerah yang dikunjungi.
Tidak seperti kebanyakan pelaut Eropa yang mengusung misi penaklukan atau ambisi keserakahan, Cheng Hoo sebaliknya. Ia dengan keyakinan Islam yang jadi prinsip hidupnya, dapat menjadi perekat budaya atau tradisi Tionghoa dengan kebudayaan asli setempat. Bahkan Cheng Hoo pun tak segan-segan menyampaikan ajaran Islam (berdakwah) di setiap tempat yang dikunjungi dengan cara damai.
Atas semangat itu, di beberapa kota di Indonesia yang pernah dikunjungi Cheng Hoo, kini dibangun masjid untuk mengenang jasa-jasanya. Ada setidaknya 15 masjid yang menggunakan nama Cheng Hoo dan dibangun dengan arsitektur yang memadukan gaya Tiongkok dan Arab. Termasuk di Surabaya, Masjid Muhammad Cheng Hoo jadi magnet bagi para wisatawan untuk berkunjung ke sana.
Meski berukuran mungil, tapi Masjid Cheng Hoo memiliki tampilan eksotis. Didominasi oleh warna merah dengan genteng hijau yang mencolok, masjid ini sangat kental dengan nuansa orientalnya. Apalagi ada atap berpagoda khas kelenteng, yang seakan menyampaikan pesan bahwa Islam adalah agama yang sangat toleran terhadap tradisi atau budaya mana pun, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama ini (tauhid/keesaan Tuhan).
Mendengar ketika azan dikumandangkan dan kemudian ikut salat berjamaah di Masjid Muhammad Cheng Hoo, pastinya menghadirkan kesan spesial yang mungkin tak dijumpai di tempat lain. Semangat perdamaian Cheng Hoo seakan memenuhi setiap sudut masjid ini. Semangat yang tak pudar meski sang empunya (Cheng Hoo) telah berpulang enam abad silam. (daaruttauhiid)