Menanti Hadirnya Pemimpin Rahmatan Lil Alamin
Syaikh Yusuf al-Makassari yang mempunyai reputasi internasional pada abad ke tujuh belas, di dalam bukunya ‘Sirrul Asrar’ mengungkapkan, inti ajaran para nabi-nabi adalah ma’rifatullah. Inti ma’rifatullah adalah akhlak, dan inti akhlak adalah silaturahim. Adapun inti silaturahim adalah menggembirakan orang lain. Inilah tugas para nabi-nabi, teristimewa Nabi Muhammad saw sebagai rahmatan lil alamîn (rahmat bagi semesta alam).
Allah SWT mengutus nabi-nabi sebagai uswatun hasanah, yaitu suri teladan yang paling baik dan indah. Kepemimpinan dalam Islam ialah kepemimpinan dari mata rantai kenabian, sehingga setiap pemimpin itu jauh berbeda dengan penguasa. Penguasa cenderung otoriter, pola hidup mewah, menggunakan kekuasaannya untuk mengeruk kekayaan dengan aneka macam dalil untuk membenarkan kebijaksanaannya, dan didekati elit-elit pengusaha. Setiap kebijakannya berorientasi kepada keuntungan ekonomi kelompok dan keluarganya.
Pemimpin Beda dengan Penguasa
Berbeda dengan pemimpin yang dalam bahasa al-Quran disebut al-immm (imam), yang artinya ikutan, teladan. Secara etimologis, imam berasal dari kata ummun yang artinya ibu—yang biasanya anak-anak seseorang itu pasti mengikuti bahasa, adat istiadat serta kebiasaan ibu. Istilah yang populer disebut ‘bahasa ibu’. Yang namanya ibu, pasti memiliki jiwa kasih sayang kepada anak-anaknya. Ibu akan berjuang habis-habisan membimbing dan mengarahkan putra-putrinya yang kurang mampu, baik dalam bidang pendidikan maupun sosial ekonomi. Begitu pun seorang pemimpin Islam kepada rakyatnya.
Sebagai contoh, Umar bin Khatthab pernah bermaksud membatasi mahar, karena mahar dalam dunia Arab sejak dahulu sampai sekarang sangat mahal. Lalu ada seorang nenek menegur Amirul Mu’minin. Umar pun tunduk mendengar peringatannya.
Berbeda dengan penguasa, lebih mendengar dan tunduk kepada suara dan tekanan pengusaha daripada mendengar jeritan, tangisan dan demo rakyat-rakyat kecil yang miskin-miskin, yang tertindas, tergusur dan tersingkir. Lebih bahaya lagi kalau kemiskinan itu dijadikan komoditi mengeruk keuntungan, mencari sumbangan dan bantuan luar negeri, tapi yang sampai kepada si miskin hanya karungnya saja—karena isinya sudah habis untuk penguasa dan pengusaha.
Pemimpin adalah ibu rakyatnya. Dia memancarkan rahmat kepada seluruh putra-putrinya, dan banyak memerhatikan putra-putrinya yang tidak mampu atau yang miskin-miskin. Dan juga seorang pemimpin itu bersifat keibuan. Ia lebih banyak merujuk pada kitab suci al-Quran, yang mengambil ‘ibrah (pelajaran dan pengajaran Ilahiyah) agar dapat memancarkan rahmat dan kasih sayang yang menyeluruh kepada rakyat kecil. Karena pertolongan dan bantuan Allah dalam sejarah perjuangan nabi-nabi disebabkan keberpihakannya kepada kelompok kecil ini, dan tantangan yang paling hebat ialah dari kelompok al-mutrafîn, yaitu orang-orang yang berpola hidup mewah dari tokoh-tokoh penguasa dan pengusaha yang mendorong korup, menumpuk-numpuk kekayaan untuk tujuh turunan.
Para nabi waktu itu banyak berpihak kepada mustadh’afîn. Dalam al-Quran ditemukan enam kali dari lima puluh dua kali perubahannya. Mustadhafin ialah orang-orang yang tertindas, mereka lemah tidak bisa berkutik karena dilemahkan oleh sistem yang dibuat para elit politik dan para penguasa. Mereka tertindas dalam bidang pendidikan karena sistem pendidikan yang digulirkan oleh elit penguasa. Dalam bidang ekonomi mereka tertindas oleh sistem perbankan dan aturan korporasi asing, termasuk dalam bidang pertanian dan segala bidang.
Rakyat kecil akan semakin tertindas jika penguasa mengeluarkan kebijakan de-birokrasi dan de-regulasi terhadap pengatur fiscal dan moneter. Dan akan makin tertindas lagi di kala pengatur fiscal dan moneter tersebut telah memasuki era politisasi. Sehingga para ahli ekonomi akan tersisih atau dikalahkan oleh dasar kepentingan para elit penguasa. Ramalan Rasulullah saw yang berdasarkan wahyu akan terjadi jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya dan tunggu kehancurannya.
Kehancuran di hadapan kita sudah terbayang. Dana milik negara ratusan trilliun banyak menguap raib tidak tentu rimbanya. Yang melaporkan korupsi, ternyata koruptor juga. Yang akan memberantas korupsi, sama koruptor juga. Yang berteriak-teriak berantas korupsi setelah duduk jadi penguasa, juga turut korupsi. Yang siap memberantas korupsi dan suap-menyuap, justru menerima suap. Jika tidak kembali kepada Allah, al-ba’sâu wa al-dharrâu, krisis ekonomi dan resesi bakal mengancam negeri kita ini.
Kapan kepemimpinan waratsatul anbiyâ yang rahmatan lil âlamîn muncul? Atau ini baru mimpi? Semua kenyataan yang sekarang, umumnya dari hasil mimpi. Ilmuwan berhasil didahului mimpi-mimpi. Tokoh-tokoh besar muncul ke atas didahului mimpi-mimpi.
Semua ini terletak di atas pundak umat. Umat memiliki otoritas untuk menentukan pemimpin rahmatan lil âlamîn, atau akan memunculkan penguasa-pengusaha, atau pengusaha-penguasa, yang hanya berorientasi bisnis dan keuntungan. Hasbunallâh wa ni’mal wakîl, ni’mal mawlâ wa ni’man nashîr. (daaruttauhiid)