Membangun Keluarga Islami
Masyarakat islami merupakan kumpulan dari keluarga islami. Ia lahir dan berkembang dari rumah yang diwarnai nilai-nilai Islam, dan kemudian dijadikan pedoman serta tuntunan dalam kehidupan. Karenanya, jangan bermimpi dapat mewujudkan masyarakat islami sementara keluarga islami sendiri masih jauh panggang dari api.
Rumah yang diwarnai nilai-nilai Islam seringkali disebut sebagai rumah keluarga muslim (albaitul muslim), yang dikucuri dengan limpahan cinta (mawaddah), kasih sayang (rahmah) dan kedamaian serta ketenangan (sakinah). Tiga limpahan inilah yang menjadikan iklim rumah kian menyenangkan dan menyejukkan.
Untuk mewujudkan keluarga muslim yang dicita-citakan, tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setidaknya ada enam cara agar bisa membangun keluarga muslim yang ideal (islami).
Pertama, interaksi yang baik antar anggota keluarga tak diragukan lagi merupakan pintu masuk menuju ’rumahku surgaku’. Dengan terciptanya interaksi yang baik, maka antara anggota keluarga (suami, istri, dan anak-anak) akan terjalin hubungan yang sehat dan terbuka. Tentunya interaksi yang baik akan terjadi jika antar anggota keluarga paham hak dan kewajibannya masing-masing.
Kedua, keluarga muslim bukanlah keluarga yang pelit dan tak berinfak. Tentu saja dalam berinfak, kebutuhan keluarga hendaknya tercukupi terlebih dahulu. Pasalnya, seseorang dituntut melakukan kebajikan kepada orang yang paling dekat dengan dirinya terlebih dahulu. Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baiknya dinar adalah yang diinfakkan seorang laki-laki terhadap keluarganya, dan dinar yang ia infakkan untuk tunggangannya di jalan Allah; dan dinar yang ia infakkan kepada sahabat-sahabatnya di jalan.” (HR. Muslim).
Ketiga, setiap keluarga muslim dituntut tidak menjadi keluarga yang rakus dan tamak. Sikap rakus dan tamak adalah sikap yang menginginkan semua yang dipunyai orang lain. Pada gilirannya ini akan memicu kepada sikap yang tidak terpuji, seperti mengemis dan meminta-minta, meski sebenarnya tanpa mengemis pun ia sudah bisa mencukupi. Rasulullah bersabda, “Tidaklah orang-orang itu meminta-minta agar berlebih melainkan ia meminta-minta bara api.” (HR. Muslim).
Keempat, keluarga muslim adalah keluarga yang mampu bekerja sehingga dapat menghidupi kebutuhannya. Bekerja dalam pandangan Islam bukanlah semata-mata money oriented, tapi wujud dari ibadah. Maka tidak mengherankan bagaimana para nabi memberikan teladan kepada kita, bagaimana mereka melakoni pekerjaan meski sebenarnya tanpa bekerja pun sudah mencukupi. “Tidaklah seseorang menyantap makanan itu lebih baik dari seseorang yang menyantap makanan hasil dari pekerjaan tangannya. Dan Nabi Allah Dawud as juga menyantap makanan hasil dari pekerjaan tangannya.” (HR. Bukhari).
Kelima, keluarga muslim diharapkan menjadi mata air keberkahan. Dalam bahasa Arab, berkah dimaknai dengan kebaikan yang melimpah, baik itu kebaikan bersifat materi maupun non-materi. Rasulullah saw menggambarkan bagaimana porsi makanan untuk satu orang bisa dimanfaatkan untuk dua orang, atau untuk dua orang bisa dimanfaatkan untuk empat orang, dan untuk empat orang bisa mencukupi untuk delapan orang. Di sinilah hakikat keberkahan. Yaitu asas manfaat yang optimal dan maksimal, tanpa ada pemborosan dan kemubaziran. Oleh karena itu, Rasulullah sangat menganjurkan agar tak menyisakan makanan yang sia-sia. “Sesungguhnya engkau tidak tahu di makanan kalian yang mana terdapat berkah.” (HR. Muslim).
Keenam, keluarga muslim adalah keluarga yang peduli dan peka terhadap anak-anak yatim, para janda dan fakir miskin. Rasulullah bersabda, “Pengurus anak yatim untuknya atau untuk orang lain, saya dan dia (pengurus anak yatim) posisinya seperti ini (antara telunjuk dan ibu jari di surga).”
Demikian paparan tentang keluarga muslim yang ideal. Semoga tulisan ini, mudah-mudahan bisa tercipta keluarga muslim yang harmonis, peduli terhadap sesama dan mandiri. (daaruttauhiid)