Membangun Budaya Literasi dan Peradaban Umat
Membaca dan kecintaan terhadap ilmu pernah mengantarkan umat ini pada posisi puncak peradaban. Ketika masa keemasan itu membuat Islam dan ajarannya menjadi rujukan di seluruh dunia. Syahdan, kebesaran itu sempurna terangkum di Kota Baghdad pada masa Daulah Abbasiyah.
Bayangkan saja Baghdad saat itu memiliki benteng terluar setinggi 40 meter, jari-jari bentang kotanya 20 mil, lebar bagian atas tembok kota itu dapat dilewati 4 kereta perang sekaligus berjajar. Ke arah dalam istana masih ada 6 tembok lagi, Madinat as-Salam tempat tinggal penguasanya menjulang tinggi di pusat kota. Untuk sampai ke dalamnya harus melewati 40 lapis penjaga.
Pusat Literasi Dunia
Proses penerjemahan buku-buku dari peradaban sebelumnya ke dalam bahasa Arab membuat kegiatan ilmiah menjadi gegap gempita. Tak terbayang begitu banyak manusia berjalan kaki menuju Baghdad hanya untuk berdiskusi langsung dengan para Ikhwanush Shafa. Mendelegasikan sarjana-sarjana terbaik hanya untuk melihat bagaimana sebenarnya para mufti bekerja. Saat itu Baghdad menjadi kota terbesar dengan 3 juta penduduk, mengungguli Ch’ang-an ibu kota Dinasti T’ang di Tiongkok.
Perpustakaan raksasa Baghdad berjejal buku-buku yang terkumpul dari berbagai zaman dan wilayah dengan begitu eloknya. Orang-orang terpusat dengan tiga kegiatan, yaitu membaca, menulis, serta menerjemahkan. Sedangkan ruang diskusi dipisahkan karena kata-kata yang terlontar biasanya hasil dari tiga kegiatan awal. Rak-rak buku menjulang dan berjejer tanda supremasi pengetahuan beserta nama-nama yang mendirikannya. Yang paling ramai dikunjungi ialah Khazanah ar-Rasyid dan Khazanah al-Ma`mun.
Terlepas dari sudah banyak melencengnya penggunaan kata khazanah di kalangan kita, secara etimologis khazanah merupakan kata yang mewakili sebuah benda yang patut disimpan, dijaga karena nilainya bagi sang pemililk. Maka alasan etimologis inilah yang mungkin membuat khalifah menamai almari buku sebagai khazanah.
Membangun Budaya Membaca
Buku-buku dan kerja diskusi menjadi bahan perbincangan di setiap sudut kota. Baghdad seperti pendahulu-pendahulunya memiliki keistimewaan tersendiri. Ada pun perbedaan yang dimiliki Baghdad adalah hasil akumulasi di Jundisabur, kumpulan-kumpulan kearifan dari Iskandariyah, serta kegemilangan perguruan Athena. Maka kita yang mempelajari sejarah sudah tak perlu lagi berdebat tentang dari mana awal mula embrio semangat Renaissance yang menjadi awal kebangkitan Eropa. Selain faktor keluarga Medici dan jatuhnya Konstantinopel, giatnya penerjemahan buku ke bahasa Italia membuat Firenze dijuluki ‘Athena di Barat’.
Sejarah pada intinya mengajarkan kita bagaimana tahapan jika ingin membangun sebuah peradaban, dan kegiatan literasi masyarakat adalah salah satu indikatornya. Melihat kembali sejenak peradaban di Baghdad pada gilirannya seakan memberi sinyalemen, bahwa menumbuhkan kembali kecintaan umat ini pada ilmu dan membaca adalah prasyarat kegemilangan yang harus diulang.
Bantuan Buku untuk Sekolah Pedalaman
Daarut Tauhiid (DT) pun memiliki semangat yang sama. Membangun peradaban gemilang dengan kembali menumbuhkan minat membaca umat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan membuka akses seluasnya terhadap buku dan pendidikan, sebagaimana yang menjadi concern dari Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZ) DT Peduli.
Contoh kegiatan yang telah dilakukan DT Peduli adalah membagikan buku dan peralatan sekolah untuk SMP Islam Ash-Shamad di Desa Kutawaringin, Kabupaten Tasikmalaya pada akhir Agustus 2020. Sekolah tersebut belum memiliki bangunan permanen dan banyak menampung siswa dari kalangan masyarakat tidak mampu.
Banyak sekali anak terpaksa putus sekolah karena terkendala biaya dan jauhnya jarak. Hal inilah yang menjadi alasan utama pembangunan SMP Islam Ash-Shamad. Diharapkan bantuan buku dan peralatan sekolah yang disalurkan DT Peduli dapat menambah semangat sekolah dan akses siswa terhadap pendidikan. Termasuk menjadi cikal bakal membangun peradaban Islam dengan menumbuhkembangkan budaya literasi. (Gian)