Memandirikan Sesama, Butuh Kerja Sama
“Untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia, kita tidak perlu mengemis utang kepada IMF atau memerlukan bantuan dari asing. Jika 10% orang terkaya di Indonesia rela memberikan 20% penghasilannya (bukan harta atau asetnya) maka tidak ada lagi orang miskin di Indonesia pada tahun itu.” (H.S. Dillon)
Apa yang dinyatakan oleh seorang pengamat ekonomi berdarah India itu benar adanya. Angka keimiskinan yang meningkat setiap tahun salah satu penyebabnya karena orang miskin tidak memiliki modal (dana) yang cukup untuk berwirausaha. Begitu pula dengan makin jomplangnya tingkat kesejahteraan antara si kaya dan si miskin, terjadi akibat distribusi kekayaan yang tidak merata. Kekakayaan (modal) hanya terkumpul pada sebagian kecil rakyat Indonesia. Mengutip pendapat Dillon, bila orang-orang kaya rela berderma untuk memberdayakan dan memandirikan orang-orang miskin maka kemiskinan akan berkurang secara drastis.
Ada orang yang berpendapat bahwa seseorang yang tetap miskin akibat ulahnya sendiri. Mereka kurang bersemangat untuk memperbaiki kualitas hidup, etos kerjanya rendah, malas, tidak sabar, dan mudah menyerah. Kemiskinan tidak menumbuhkan semangat untuk pantang menyerah, lebih disiplin, lebih sabar, serta berusaha kerasa menjadi orang kaya.
Kemiskinan tidaklah diciptakan oleh masyarakat miskin. Hal itu lebih sebagai akibat dari sistem yang diciptakan sehingga menyebabkan minimnya kesempatan bagi masyarakat miskin untuk dapat bekerja dan mengembangkan diri. Pendapat itu ditegaskan peraih Nobel Perdamaian 2006 Profesor Muhammad Yunus dari Bangladesh, saat mengunjungi kota Bandung pada 2006 lalu.
”Kesimpulan dari apa yang saya rintis melalui pendirian Grameen Bank (Bank Pedesaan) sejak 1970-an adalah bahwa kemiskinan tidak tercipta karena warga miskin itu sendiri. Mereka hanyalah korban dari sistem yang tidak memberikan kesempatan yang sama bagi semua kalangan untuk bangkit, bekerja, dan berkreasi sesuai dengan kemampuan masing-masing,” ungkap Yunus seperti dikutip sebuah media cetak.
Muhammad Yunus adalah satu di antara beberapa aktivis pemberdayaan yang sangat meyakini bahwa orang-orang miskin akan berubah hidupnya menjadi menjadi mandiri dan sejahtera bila diberikan akses untuk mendapatkan modal, dididik, dilatih, dan dibina secara benar dan berkesinambungan. Keyakinan ini tumbuh berdasarkan fakta yang telah berhasil dibuktikannya. Selama lebih dari 30 tahun ia membina kaum miskin di Bangladesh yang sebagian besarnya kaum wanita. Sudah jutaan orang yang berubah hidupnya menjadi mandiri dan sejahtera berkat program dana bergulir melalui pembinaan yang benar secara berkelompok.
Misykat dan Kemandirian
Tidak dipungkiri bahwa apa yang dilakukan DT Peduli dalam memberdayakan masyarakat dhuafa melalui Program Misykat (Microfinance Syariah Berbasis Masyarakat), meniru model pemberdayaan yang telah dilakukan Muhammad Yunus. Meskipun meniru, Program Misykat memiliki keistimewaan, terutama dari sisi materi yang disampaikan dalam pembinaan setiap pekan. Dalam program Misykat, dilakukan penyeimbangan materi ekonomi syariah, diniyah, keterampilan, dan budaya lokal. Konsep ini ternyata cukup berhasil sehingga dari waktu ke waktu anggota Misykat terus bertambah. Saat ini, sudah lebih dari seribu orang yang bergabung menjadi anggota Misykat.
Tidak hanya itu, seiring bergulirnya waktu, kesejahteraan anggota pun meningkat. Hal ini terjadi karena sejalan dengan meningkatnya pemahaman, semangat, kedisiplinan, keterampilan, serta kualitas ruhiyah mereka. Mereka menjadi lebih berdaya sehingga bisa menggapai kemandirian. Mereka mulai menapaki tangga kemandirian dengan dibentengi akidah yang kuat dan pemahaman dienul Islam yang benar.
Rela Bekerja Sama
Memberdayakan dan memandirikan orang-orang yang kurang mampu, bukanlah tanggung jawab segelintir orang, lembaga pemberdayaan, atau pemerintah saja. Semua elemen bangsa di negeri ini harus saling bekerjasama agar problem ketidakberdayaan dan kemiskinan sebagian rakyat bisa segera dituntaskan. Setiap orang dengan kemampuannya masing-masing harus ikut berpartisipasi. Lembaga pemerintah dengan kebijakannya, lembaga pemberdayaan dengan programnya, dan orang-orang kaya dengan kekayaanya bersinergi dalam sebuah kerjasama yang terprogram.
Melaksanakan sebuah program kerja dengan didukung oleh banyak pihak akan lebih besar kemungkinan berhasilnya dibandingkan dilakukan oleh satu pihak saja. Seseorang berhasil mencapai kesuksesan dalam hidupnya, hanya dapat terjadi karena adanya kerjasama dari beberapa orang yang mem-back up-nya. Dengan bekerjasama lautan luas bisa dibendung, gunung yang tinggi bisa ditaklukkan, lahan yang tandus menjadi hijau, dan bangunan yang megah bisa didirikan.
Hanya saja, apakah setiap kita mau bekerjasama dalam mega proyek ini? Apakah kita mau menjadi air, batu kerikil, pasir, atau batu-bata dari sebuah bangunan? Apakah kita mau meredam sikap egoisnya demi sebuah kebersamaan? Apakah Anda yang memiliki kelebihan dana, rela menyisihkan sebagian kecilnya untuk membantu sesama?
Ya, tak ada kesuksesan tanpa kerjasama. Tidak ada kemandirian tanpa kerjasama. Dengan bekerjasama yang sulit akan menjadi mudah dan yang jauh akan terasa lebih dekat. Dengan bekerjasama, semua akan menikmati pahala, semua akan kebagian laba. Seperti halnya ibadah shalat, saat berjamaah nilainya lebih tinggi 27 derajat dibandingkan shalat munfarid (sendirian).
Ramadan sudah di ujung mata. Kedatangannya sudah ramai dibicarakan banyak orang di seantero dunia. Yang harus menjadi pertanyaan bagi diri kita pribadi, bisakah kita mengambil berkah dari kehadirannya? Bisakah kita meraih banyak pahala pada Ramadan kali ini?
Kehadiran bulan yang agung ini akan terasa lebih bermakna bila kita bisa membahagiakan orang lain, terlebih bisa turut andil untuk memberdayakan orang-orang yang tidak berdaya. Zakat, infak, atau sedekah yang akan kita tunaikan, sudah saatnya diarahkan untuk membantu membiaya para mustahik yang ingin mengubah hidupnya menjadi muzaki. Dana yang Anda dermakan untuk sesama, seharusnya bisa terus bergulir untuk memberdayakan dan memandirikan banyak orang. (Ahmad Kosasih)