Memaknai Kekuasaan
Kekuasaan menjadi sesuatu yang didambakan oleh banyak orang di muka bumi. Tidak hanya ketika musim pemilihan presiden (Pilpres) saja, bahkan sejarah di masa lalu pun banyak menceritakan tentang pertarungan-pertarungan untuk merebut, dan memperluas kekuasaan.
Memiliki kekuasaan, tak selalu berarti buruk. Bila kekuasaan digunakan untuk memperluas kebaikan, mengajak pada kebenaran, serta menegakkan keadilan, tentu hal itu akan menambah pahala dan keberkahan dari Tuhan (Allah SWT). Sebaliknya, bila kekuasaan digunakan semena-semana untuk memeras dan membohongi rakyat yang dipimpinnya, mempermainkan hukum sesukanya, hingga menuhankan kekuasaannya. Maka, tunggulah kehancurannya.
Sejarah Kelam Kekuasaan
Perjalanan sejarah manusia diwarnai dengan munculnya para raja di berbagai belahan benua, yang mengubah wajah dunia. Mereka datang, berperang, lalu melakukan penaklukan, sehingga terbentuklah sebuah imperium. Akan tetapi, adakah keuasaan yang abadi? Tak ada. Mengapa? Karena dunia yang mereka akui telah mereka taklukkan itu tetap di sini, sementara yang mengaku menguasai, justru silih berganti mati meninggalkan dunia ini.
Lalu, milik siapa kekuasaan yang abadi? Jelas milik Allah SWT. Kekuasaan-Nya di dunia mencakup langit, bumi, dan alam semesta. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat Kursi, “Kursi (kekuasaan) Allah mencakup langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 255).
Di masa lalu, ada seorang penakluk besar bernama Jenghiz Khan. Semasa hidupnya, Jenghiz Khan mampu mengalahkan Persia, kekhalifahan Islam, dan Benua Eropa. Pada usia lima puluh tiga tahun, ia berkata, “Aku tidak bahagia, karena aku tidak bisa mengalahkan seluruh dunia,”. Kemuliaan dan kekuasaannya, lenyap begitu saja.
Penakluk selanjutnya ialah Iskandar yang Agung (Alexander The Great), penakluk legendaris asal Makedonia. Dia diakui sebagai seorang pemimpin militer paling jenius sepanjang zaman. Bersama pasukannya yang gagah berani, ia mampu menaklukkan tiga benua. Tapi, kegemilangannya sirna begitu saja ketia malaria menyerangnya. Sebelum meninggal, ia berwasiat, “Kalau aku mati, buatkan peti mati dan beri lubang di kiri dan kananya. Lalu, julurkan tanganku lewat di lubangnya, agar semua orang melihat tanganku, bahwa saat aku mati, aku tidak membawa apa-apa.
Di Mesir, ada sosok yang namanya tak asing lagi di telinga Umat Islam. Ia adalah Fir’aun yang nama dan kisahnya diabadikan dalam al-Quran. Kekuasaan, kekuatan, dan limpahan harta kekayaan telah membuatnya lupa diri, menuhankan diri sendiri, hingga memaksa rakyatnya mengakuinya sebagai tuhan. Kesombongannya pun tak berlangsung lama. Allah SWT Yang Maha Kuasa, menghukumnya dengan menenggelamkannya di lautan.
Ya, begitulah skenario Allah Azza wa Jalla. Dia memberikan kekuasaan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya. Dia pula yang kuasa mencabut kembali kekuasaan yang telah diberikan-Nya itu.
Firman-Nya dalam al-Quran, “Katakanlah, wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu,” (QS. Ali Imraan [3] : 26).
Memaknai Kekuasaan
Di kehidupan ini, tidak semua orang bisa menjadi penguasa. Tidak setiap orang mampu menjadi raja yang menguasai suatu wilayah. Namun, dalam lingkup yang lebih kecil, setiap orang adalah penguasa, raja, penerima otoritas, atau pemimpin. Contoh, seorang suami ialah pemimpin bagi keluarganya. Seorang istri, pemimpin di rumahnya ketika suami sedang tidak ada. Bahkan, semua orang adalah pemimpin atau raja atas dirinya, atas anggota tubuhnya, atas hati dan segala pikirannya. Kelak, kepemimpinan itu pun akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Sebagai makhluk sosial, kita pun tak boleh sampai anti pada kekuasaan, termasuk alergi pada politik. Lalu, siapa yang dijadikan rujukan bagi Umat Islam yang hendak berdakwah menebar kebaikan, dan mencegah kemungkaran? Siapa lagi kalau bukan Rasulullah Muhammad saw.
Beliau saw, tidak hanya pemimpin bagi Umat Islam, tapi juga pemimpin negara pada masanya. Dahulu, saat Rasulullah Muhammad saw di Kota Makkah, tidak ada Umat Islam yang salat berjamaah di masjid, karena khawatir akan diserang Abu Jahal, Abu Lahab, dan Abu Sufyan. Mengapa kekhawatiran itu terjadi? Karena Rasul saw saat itu belum punya kekuasaan. Tapi, setelah Rasulullah saw hijrah ke Madinah, usai salat berjamaah, Rasul saw mengecek jamaahnya. Kemana si fulan? Kemana kepala wilayah ini? Mengapa tidak datang ke masjid? Dan lain-lain. Nah! Itulah pentingnya dan hebatnya memiliki kekuasaan.
Jadi, ketika ada saudara sesama muslim yang hendak berjuang di ranah politik, selama tujuannya baik, didukung saja. Mengapa Umat Islam yang tauhidnya baik, akhlaknya baik, penting berada di ranah itu? Agar yang mengambil kebijakan atau keputusan itu, ialah mereka yang tidak akan merugikan Umat Islam. Sebaliknya, bila kita tak mau peduli urusan kekuasaan, khususnya di negara sendiri, maka, kita pun secara tidak langsung mengambil peran dalam meluasnya kemungkaran. Setidaknya, bila kita sudah maksimal ikhtiar memilih pemimpin yang baik untuk dunia akhirat, walau pun yang dipilih tidak tertakdir terpilih, semoga ikhtiar memilih itu mendapat pahala di sisi Allah SWT. Wallahu’alam. (Cristi Az-Zahra)